Mohon tunggu...
SALMAN
SALMAN Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Pendidikan

#Pulang Dengan Bahagia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tinggalkan Debat, Rajut Persatuan

1 Februari 2024   11:46 Diperbarui: 1 Februari 2024   11:53 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendekati hari pemilihan umum, bangsa Indonesia disuguhkan dengan penampilan para Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang tampil di depan publik dalam forum adu gagasan yang diprakrasai oleh Komisi Pemilihan Umum. Acara ini menjadi program yang ditunggu dan ditonton oleh ratusan juta Rakyat Indonesia baik yang memiliki hak pilih maupun yang belum dapat memilih untuk Pemilu 2024 ini. Setidaknya sudah empat kali debat ini berlangsung dimana debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden masing-masing berlangsung dua kali.

        Selain keseruan dalam menyaksikan setiap calon memainkan kata-kata dalam forum yang sering disebut dengan Debat Capres dan Cawapres ini, tak kalah serunya juga ialah perdebatan panjang yang muncul setelah acara tersebut. Setiap kata yang keluar dari masing-masing kandidat akan menjadi pembahasan panjang baik dari akademisi sampai masyarakat biasa. Tak jarang pula terjadi kontroversi yang menimbulkan polemik diakar rumput. Namun sebenarnya seberapa efektif debat Calon Presiden dan Wakil Presiden yang selama ini ditampilkan bagi para pemilih? Apakah program debat ini memberikan pembelajaran politik atau malah membuat polarisasi di masyarakat?

        Ditinjau secara historis, debat Capres pertama kali terjadi di dunia pada tahun 1858 di Amerika Serikat antara Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas. Sedangkan di Indonesia, Debat Capres pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004. Dan sampai saat ini debat pemilihan presiden menjadi tahapan wajib yang harus dilalui sebelum hari pemilihan berlangsung. Sebenarnya pelaksanaan debat capres ini bukanlah sekedar seremonial belaka namun lebih dari itu sebagai perwujudan makna demokrasi. Setiap warga negara mempunyai hak untuk mengetahui visi, misi dan program dari masing-masing calon Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun pada praktiknya debat Capres ini sebagai ajang untuk menyinggung atau membongkar aib masing-masing calon.

        Berkaca dari debat Capres Amerika tahun 2020 antara Trump dan Biden yang menjadikan ajang debat Capres sebagai ajang saling hina secara personal, menunjukkan bahwa esensi debat sebagai ajang adu gagasan telah hilang. Hal serupa juga terjadi di Brasil pada tahun 2022 antara Bolsonaro dan Lula. Tentu saja kejadian ini akan berdampak bagi setiap pendukung calon. Karena biasanya suasana panas debat tidak hanya sebatas di ruang forum debat namun juga meluas ke kehidupan masyarakat biasa. Polarisasi di masyarakat akan semakin melebar dan bahkan bisa menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat kita.

        Bagi bangsa Indonesia yang terkenal akan kesantunannya dan menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya, pelaksanaan debat Capres menimbulkan pro dan kontra. Sehingga ketika pelaksanaannya pertama kali pada tahun 2004 terlihat kecanggungan setiap calon dalam memberikan kritikan ataupun serangan pada lawan. Namun berbeda halnya pada tahun 2024 atau dua puluh tahun berselang. Tahun ini, para calon tidak segan-segan untuk melontarkan kritikan tajam kepada lawan walaupun masih terikat pada sistem dan aturan yang dibuat oleh penyelenggara.

        Namun jika ditinjau dari hasil empat kali debat yang disiarkan secara langsung, lontaran kata-kata yang menyinggung pribadi kandidat sangat kental terasa. Hal ini sangat disayangkan karena ajang debat Capres dan Cawapres sepatutnya sebagai sarana edukasi masyarakat akan demokrasi dan bukan malah membuat polarisasi masyarakat semakin tajam. Diperlukan kedewasaan dan kebijaksanaan dari masing-masing kandidat untuk menahan diri menyerang lawan debat di luar program dan tema debat. Bagaimanapun para Capres dan Cawapres ini merupakan tokoh-tokoh panutan yang memiliki pendukung yang fanatik. Pendukung-pendukung yang fanatik ini sebenarnya tidak lagi terpengaruh akan hasil debat, baik ataupun buruk penampilan tokoh idolanya tidak akan merubah dukungan mereka.

        Sudah sepatutnya ajang debat Capres dan Cawapres sebagai ajang pendewasaan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Bukan malah ajang ini sebagai pemecah belah persatuan bangsa yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Silahkan para kandidat beradu gagasan dan kritikan namun tetap dalam koridor budaya bangsa yang menjunjung tinggi ranah kesopanan dan kesantunan. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan siklus normal dalam demokrasi yang akan berulang setiap lima tahun sekali. Namun jangan pernah mengorbankan kesatuan dan persatuan bangsa hanya untuk proses pemilu ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun