Seminggu perkuliahan telah hampir berlalu, tak terasa memang karena materi dan cara penyampaian guru-guru di Cavilam ini begitu penuh energi. Bahkan jiwa kritisku tersalurkan lewat asas kebebasan berekspresi disini. Pernah dalam satu diskusi tentang Iklim, secara terbuka aku langsung menyatakan bahwa Eropa ini munafik. Bukan tanpa alasan tapi memang menurut pandanganku, Eropa yang begitu mendambakan udara bersih dan seolah-olah sebagai pahlawan dalam melindungi Bumi tapi telah berbuat tidak adil terhadap negara-negara lain terutama negara tertinggal dan berkembang. Dengan dalih investasi, Eropa membangun pabrik-pabrik besarnya ke negara-negara berkembang sehingga polusi yang dihasilkan pabrik tersebut harus dirasakan oleh penduduk di negara lain. Sontak ketika kata munafik itu terlontar, membuat pengajar dan para guru-guru dari Eropa terkejut. Namun mungkin masuk akal mereka juga sehingga tidak begitu banyak bantahan terhadap pernyataanku itu.
"Tentunya dibalik kebebasan berekspresi yang dianut Prancis, harus benar-benar kita manfaatkan untuk menyampaikan kritikan yang selama ini memang bersemayam dibenak kita. Selain untuk menunjukkan posisi kita terhadap beberapa kebijakan mereka, keberanian untuk mengkritik itu sebagai wujud bahwa bangsa kita sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia". Itulah yang kukatakan kepada temanku ketika mereka terheran kenapa aku terkesan terlalu lancang untuk melontarkan kata-kata kritikan terhadap Prancis dan Eropa. Bagiku tentu saja Prancis sebagai negara impian namun bukan berarti tidak boleh dikritik. Setidaknya begitulah cara pandang mereka yang kupelajari selama ini.
Perkuliahan pekan ini akhirnya berakhir di hari Jumat sore. Berhubung kampus Cavilam ini berada di kota Vichy yang jaraknya 3 jam lebih dari Paris, maka aku putuskan untuk berakhir pekan ke Paris bersama dengan beberapa teman dari Indonesia. Perjalananpun dimulai dengan menaiki kereta dari Vichy ke Paris. Meskipun Prancis memiliki sistem kereta api yang canggih tapi masih tetap terdapat keterlambatan kereta. Malam ini keretaku yang seharusnya berangkat pukul 18.00 harus diundur tiga puluh menit. Tidak masalah bagiku keterlambatan tiga puluh menit karena temanku yang seharusnya sudah berangkat sejak pukul 17.00 terpaksa bergabung dengan keretaku karena kereta mereka dibatalkan untuk ke Paris.
Perjalanan malam menuju Paris dari kereta tidak banyak yang dilihat, tidak seperti perjalanan siang, kita bisa melihat perkampungan Prancis dan beberapa perladangan serta perkebunan yang dilalui. Sepanjang perjalanan kusempatkan untuk tidur saja dengan nyaman. Ya nyaman karena pemanas di kereta ini membuat udara seperti di kota asalku Medan. Tidak terdapat udara dingin yang membuat menggigil menusuk ke relung-relung tulang. Sesekali aku terbangun untuk sekedar mengecek gawai ataupun dibangunkan petugas kontrol untuk melihat tiketku. Ada yang berbeda sistem kereta sekarang dengan dulu. Tiga belas tahun lalu ketika akan naik ke kereta maka setiap tiket harus discan dulu di mesin yang ada di stasiun tapi sekarang ini tidak perlu lagi karena hanya petugas kontrol saja yang akan mengecek keabsahan tiket kita. Gak tau juga sih apakah ini kemajuan atau kemunduran sistemnya.
Tiga jam setengah berlalu dan akhirnya aku tiba di stasiun Gare d'Austerlitz. Wuih...begitu turun dari kereta udara dingin satu derajat langsung menyambar tubuh. Jaket tebal berbulu yang kupakaipun tak mampu membendung udara dingin ini. Aku langsung bergegas keluar dari peron dan langsung mencari stasiun metro (kereta bawah tanah) untuk menuju ke penginapanku. Bersama beberapa teman kami memang memesan hotel yang pembayarannya kami bagi bersama namun untuk program di Paris kami berjalan sendiri-sendiri karena masing-masing memiliki rencana dan program yang sudah dirancang sesuai kebutuhan.
Menaiki metro di Paris juga butuh perjuangan, bayangkan saja untuk turun ke bawah tanah dan naik lagi ke atas, kita hanya menggunakan tangga biasa. Sedikit sekali stasiun metro menggunakan tangga eskalator ataupun lift. Untung saja ke Paris kali ini aku hanya membawa ransel tidak koper karena ya hanya menghabiskan hari sabtu dan minggu saja di sini jadi tidak perlu membawa banyak baju. Setelah melewati satu jam gonta-ganti mtro ditambah berjalan kaki, akhirnya tiba di penginapan yang telah di pesan lewat aplikasi online. Alhamdulillah akhirnya bisa sedikit merebahkan badan walaupun hotel ini tidak benar-benar berada di pusat kota Paris. Tapi tak mengapa karena digunakan hanya sekedar untuk rebahan dan bersih-bersih saja.
Saat ini sudah sangat larut malam, tapi perut ternyata keroncongan juga. Selepas meletakkan ransel di kamar, aku langsung keluar mencari restoran terdekat. Dan ternyata meskipun sudah pukul 23.00 masih terdapat restoran yang buka dan tidak begitu jauh dari hotel. Bahkan yang lebih menyenangkan lagi ternyata restoran ini berlabel halal dan menjual masakan khas Asia.Â
Tanpa pikir panjang langsung saja aku masuk dan memesan makanan. Wah agak terkejut rasanya ternyata sistem memesan makanannya berbeda. Kita tidak bisa langsung memesan makanan ke pelayan tapi harus menghampiri dulu sebuah layar sentuh. Disanalah kita memesan makanan hingga keluar sebuah struk yang harus kita bawa ke Kasir.Â
Selanjutnya setelah melakukan proses pembayaran, kita diberikan sebuah alat bersegi panjang. Awalnya aku bingung apa fungsi alat ini dan agak malu rasanya jika bertanya karena takut dianggap tidak up to date terhadap teknologi. Jadi yang kulakukan adalah menunggu saja kira-kira apa yang terjadi. Lima belas menit berlalu alat yang kuletakkan di atas meja ini berbunyi, ternyata alat itu berfungsi untuk memberitahu kita bahwa pesanan kita siap diambil dan disantap. Canggih juga ya ternyata dan memang efektif sih jadi tidak perlu ada keriuhan hanya untuk sekedar pesan dan mengambil pesanan.
Malam semakin larut dan udara dingin semakin menjadi-jadi menusuk ke tulang. Ku rasa malam ini cukup sampai disini dan aku harus kembali ke hotel untuk perjalanan besok.