Mohon tunggu...
SALMAN
SALMAN Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Pendidikan

#Pulang Dengan Bahagia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menggores Malam

21 Juni 2023   11:49 Diperbarui: 21 Juni 2023   11:57 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja mulai menguning kala mentari undur diri ke peraduan.Burung-burung mayam berkejar-kejaran, riang gembira dalam nada syahdu kicauan.Horizon cerah menguning, meredup dalam balutan kegelapan.

Terseok langkah kaki anak manusia, terseret-seret penuh persoalan.
Dengan tubuh gontai, tangan terjuntai dan kepala terkulai.


Kala malam semakin kelam
Hidup insan kian mencekam
Menjaga lentera yang mulai padam
Dalam soalan hidup yang kian dalam.


Gulita malam tak selamanya kelam
Semburat sinar sabit terpancar menghiasi malam
Kepada insan memberi salam

Cuplikan puisi yang dibaca Pak Wicaksono membuka pagelaran budaya Indonesia malam ini di Opera de Vichy. Aku selalu terpukau dengan goresan tinta beliau yang selalu membuai dan membuat jiwa melayang akan bait demi bait puisi beliau. "Merci beaucoup" Pak Wicaksono menutup penampilannya disambut dengan riuh tepuk tangan penonton.

"Hai Ghassan, kaunya itu?" Seseorang menyapaku dengan menepuk pundak kiri belakangku. Logatnya agak lucu terdengar, mengingatkanku selama masih dikampung halaman.

"Masa iya di Prancis ini ada logat Medan yang sekental itu" Gumamku.

"Ah, ternyata kau nya Bol" kupeluk langsung si Cebol panggilan akrabku untuk teman sekampungku ini. Nama aslinya sih Lamhot, tapi karena dulu dia itu pendek dan gendut jadilah gelar cebol melekat sampai sekarang.

"Hebat kali kau Ghassan, dah dua puluh tahun kau di Prancis ini", pujinya padaku.

"Kaulah yang hebat, tiba-tiba bisa sampai aja di Kota Vichy ini, kan ini kota kecil di Prancis, ngapain kau Bol?" tanyaku.

"Ah gini lah San, aku coba-coba jual kopi sidikalang ke sini, yah ikutlah aku program kebudayaan Indonesia Prancis ini, mana tau bisa buka lapo aku disini ya kan hahaha" canda si cebol.

Hmm hebat juga si cebol ini ku lihat, yah...dulu memang dia yang paling terbelakang dari kami semua. Maklumlah dia anak sebatang kara yang ditinggal orang tuanya bercerai. Ayahnya pergi merantau ntah kemana tak kembali, Ibunyapun merantau ke Taiwan tanpa kabar. Akhirnya dia dirawat Tulangnya (Paman dalam budaya Batak) dan disekolahkan mereka sampai SMA. Namun yang ku tahu di tempat Tulangnya itu yang ku lihat dia harus bekerja di swalayan sebagai buruh angkat. Jadi perjuangannya yang luar biasa ini sepertinya telah berhasil sekarang.

"Kenapa kau termenung gitu kawan? Tak usah kau heran denganku."

"Bukan gitu Bol, salut aku nengok kau, berapa lama kau disini?" Tanyaku.

"Banyak kali cakap kau, Ah paling tiga hari setelah itu kami berangkat ke Paris setelah itu baru pulang ke Indonesia"

Malam ini kami mengobrol panjang lebar sambil menikmati bakso dan lontong, maklumlah bagiku yang di perantauan ini sangat jarang ada bakso dan lontong di Vichy. Begitulah si Cebol ini, aku merasa sangat berhutang budi padanya. Makanya malam ini aku memaksanya menginap di apartemenku. Cebol yang dulu hampir tak ada harapan, jangankan untuk sekolah bahkan untuk makanpun ku rasa sekali sehari.

"San, cak kau lihat bulan itu, bukankah bulan itu juga yang ku tengok waktu di Medan?"

"Aih, iya lah, ada berapa rupanya bulan? Tu lah kau tidur aja pulak belajar geografi" Ku coba mencandainya.

"Hahaha, tu lau kau, apa se paok itunya aku dimata kelen ya" Sahut Cebol.

"Aku heran San, ginilah hebatnya Tuhan ya, rencananya pasti hebat terkadang aku yang tak sabar melihat akhirnya. Kau tau lah gimana aku dulu, tak mungkin rasanya bisa ku pijak negerinya Napoleon ini" Tambahnya.

Tengadah kepalaku menatap tajam ke arah purnama yang sesekali meredup, malu tertutup awan. Dua puluh tahun bagiku menatap purnama yang sama, namun malam ini terasa berbeda. Kata-kata cebol mengingatkanku betapa tidak bersyukurnya diri ini. Apa sih yang merasukiku sehingga kesombongan ini terus mengendalikan hidupku. Ntah kebencian apa yang membuatku ingin menghapus masa laluku di kota itu.

Ku tanyakan kembali dalam hatiku, bukankah purnama ini juga yang ku tengok kala aku kecil di kota itu? Bukankah sinarnya juga yang ku nikmati kala bermain di pinggiran sungai waktu itu? Malam ini ku berjalan menelusuri jalanan sempit yang sunyi di kota sekecil ini. Di tengah kesunyian kota Vichy, aku duduk ditengah taman dekat La Poste.

"Kenapa Kau San? Ada yang kau tutupi? Ada masalah kau San?" Tanya Cebol padaku.

"Terima kasih kau datang ke sini ya Bol, terbuka mata hatiku kembali" Jawabku.

"Masih teringatnya kau kejadian waktu itu?"

"Hmmm" Aku hanya mengangguk

Yah kejadian waktu itu membuatku berubah secara total. Kebencian membuatku menjadi lebih kuat saat ini. Disaat seluruh dunia seolah menghakimiku, si cebol inilah yang masih percaya dengan kata-kataku. Namun kejadian malam itu membuatku membuang masa laluku dan identitas lamaku. Tak satupun teman, kerabat bahkan keluarga yang ku beritahu alamat bahkan nomor kontakku di sini. Rindu ini ku tahan sendiri dalam balutan kebencian mendalam.

"Aku tahu betul kau tu terluka bahkan hancur saat itu, tapi merekapun terluka kala menghakimi dirimu seperti itu. Ayolah kawan, dua puluh tahun itu waktu yang lama. Semua sudah berubah kawan" Cebol coba menasihatiku.

"Bagaimana mungkin hati yang terkikis bisa menyatu dalam rasa damai dan cinta? Bagaimana diri yang terbuang akan dipungut dengan penuh penghargaan? Aku yang terbuang, tercampakkan bagaikan binatang peliharaan yang tua dicampakkan tuannya ke jalanan. Aku bukanlah tuan atas diriku, dunia mencampakkanku.".  Sergahku tanpa terasa buliran air mata membasahi wajah marahku.

"Comme tu veux, je m'en fou" Cebol menjawab marahku dengan mengatakan bahwa ia tidak peduli.

"San...kau bilang dunia mencampakkan kau? Bukankah kau ini hidup di dunia juga? Bukankah dunia kau yang sekarang menerima kau? Bukankah sekarang kau dipandang luar biasa dan terhormat dengan nama besarmu seorang Doktor S3 yang mengajar di Universit de Clermont Ferrand? Lantas nikmat mana lagi yang kau dustakan San?"

Kata-kata ini menghujam langsung ke hati dan mengaduk-ngaduk perasaan dan fikiranku. Di lubuk hatiku ada rasa rindu mendalam, ingin ku ziarahi mereka walaupun do'a selalu dipanjatkan dari sini.

Dengan nada lirih "Bol...sebenarnya aku mau pulang, sudah lama ingin pulang. Namun apakah dunia di sana menerimaku?"

"San...Tuhan Maha Tahu, Bukan kau yang membakar dan menyebabkan meninggalnya orang tua dan adik-adikmu di rumah itu". ***



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun