Oke. Saya mulai kembali menulis di kompasiana.
Satu hal yang memicu saya untuk kembali menulis adalah ketika saya menerima sebuah surel (surat elektronik) dari salah satu platform portal bisnis domestik. Saya resah dengan isi surel tersebut. mengapa? Sedari awal memasuki dunia perkuliahan hingga saat ini, saya selalu bertemu dengan fenomena ikut-ikutan baik oleh individu, organisasi, atau pun bisnis yang berujung pada pembengkakan pada fenomena tersebut, lalu berakhir pada titik kejenuhan tinggi di masyarakat. oke, mari kita persempit ke dalam ranah bisnis.
Apa  yang ditawarkan oleh platform portal bisnis domestik tersebut kepada saya melalui email yang menjadikan saya resah? Ini dia!
E-Commerce atau transaksi jual-beli secara online.
Dari berbagai sumber yang saya pelajari, perkembangan e-commerce di Indonesia meledak di tahun 2013 yang mana transaksi e-commerce menyentuh angka delapan miliar Dollar Amerika atau setara dengan 94,5 triliun Rupiah. dan di tahun 2016 diprediksi akan naik tiga kali lipat menjadi dua puluh lima miliar Dollar Amerika atau setara 295 triliun Rupiah berdasarkan Hasil riset yang diprakarsai oleh Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Google Indonesia, dan TNS (Taylor Nelson Sofres). Hal ini didasari oleh jumlah pengguna internet yang mencapai angka 82 juta orang atau sekitar 30 persen dari total penduduk di Indonesia. Lalu, pelaksanaan pasar bebas Asean (MEA) di akhir tahun 2015 ikut menjadi salah satu variabel penting dari hipotesis yang dilakukan oleh para pengamat yang memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi market yang potensial bagi negara lain untuk menjual barangnya. Sekali lagi saya ulangi dan garis bawahi; Indonesia akan menjadi market yang potensial bagi negara lain untuk menjual barangnya.
Kita tentu wajib menyadari bahwa dari prediksi di atas, marketplace di Asia Tenggara khususnya Indonesia akan menjadi semakin sesak.
PREDIKSI AKAN RUNTUHNYA E-COMMERCE DI INDONESIA
Dengan pendanaan sebesar seratus juta Dollar Amerika atau setara 1,2 triliun Rupiah yang didapat Tokopedia, dan dana 250 juta Dollar Amerika setara 3,15 triliun Rupiah yang dimiliki Lazada, Indonesia cukup banyak menerima kucuran dana investor.
Mengapa menjadi sangat sesak dan pengap? Pertama. Jika 2014 menjadi tahun dimana banyak dana yang dikucurkan di Indonesia, maka tahun 2015 akan menjadi tahun dimana startup lokal mulai lesu untuk memanfaatkan potensi pertumbuhan organik yang besar di wilayah ini. Mengapa? Karena ritel business-to-consumer (B2C) di Indonesia, membutuhkan banyak modal. Hal ini memungkinkan adanya dorongan konsolidasi di ranah B2C pada tahun 2015 dan seterusnya. Kedua, dengan terus masuknya modal, perusahaan B2C diharuskan mempercepat pertumbuhan mereka dengan mengakuisisi atau merger dengan pemain lain di ranah ini. Ranah e-commerce B2C masih terfragmentasi tetapi pendatang awal seperti Lazada, dengan banyaknya dana, sudah memimpin di depan dan membuat kompetisi jauh lebih sulit bagi pemain yang lebih kecil.
Atas kuasa MEA di akhir 2015, perusahaan seperti Amazon dan ASOS sudah melihat negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, termasuk Indonesia sebagai pasar mereka yang tumbuh tercepat di Asia. Sebagai contoh, ShopBop milik Amazon baru-baru ini melakukan promosi Black Friday/Cyber Monday lintas negara dengan Line dan aCommerce. MEA akan menjadi kekuatan untuk tren ini.