Mohon tunggu...
Salmah Salmah
Salmah Salmah Mohon Tunggu... -

Praktisi kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

1 Semester Implementasi JKN, Sudahkah Membawa Manfaat bagi Masyarakat?

17 Juni 2014   16:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:23 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hampir genap 6 bulan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagai penyelenggara tunggal, Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) diupayakan dapat mengakomodir pelaksanaan program JKN ini secara sistematis demi memenuhi amanat undang-undang. Namun tidak bisa dipungkiri berbagai kelemahan masih terjadi dalam operasionalnya. “Umur” BPJS yang masih muda tentu tidak bisa dijadikan alasan mengingat BPJS Kesehatan adalah transformasi dari badan usaha yang sebelumnya juga bergerak di bidang asuransi kesehatan.

Berbagai pro kontra bermunculan bahkan sejak lahirnya program JKN. Hingga pada pelaksanaannya tidak sedikit permasalahan yang menuai kritikan dan kecaman. Polemik yang terjadi dapat karena faktor kelalaian BPJS, PPK maupun peserta sendiri, yang pada ujungnya merugikan peserta.

Tidak gampang memang untuk melakukan sebuah perubahan. Namun cita-cita besar yang mengiringi dilaksanakannya program JKN dirasakan sangat berarti terlepas dari rumitnya sistem tersebut dijalankan. Suatu upaya mewujudkan pemerataan dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan bagi seluruh masyarakat, sungguh memberikan harapan besar bagi rakyat indonesia terutama yang sebelumnya merasakan sulitnya memperoleh layanan kesehatan karena keterbatasan akses maupun finansial. Namun apa jadinya jika dalam pelaksanaannya justru terasa menyulitkan bahkan menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat?

Dalam UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS pasal 4 dikatakan bahwa kepesertaan BPJS bersifat wajib. Artinya seluruh penduduk Indonesia wajib terdaftar menjadi peserta JKN, sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah hingga tahun 2019 nanti. Namun sangat disayangkan ketika ternyata masih banyak lapisan masyarakat yang tidak memahami program ini akibat kurang terpapar informasi. Di lain pihak, antusias masyarakat yang telah terpapar informasi justru terhambat akibat kesulitan dalam proses pendaftaran BPJS yang dirasakan rumit dan memakan waktu lama. Terbatasnya kantor BPJS Kesehatan mengakibatkan menumpuknya calon peserta yang antri untuk mendaftar. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bagi calon peserta sehingga mengurangi minat untuk mendaftar. Tragisnya lagi, ada yang memanfaatkan moment ini dengan menjadi calo bagi masyarakat yang ingin mendaftar di BPJS. Demikian juga ketika peserta BPJS hendak mendapatkan pelayanan kesehatan, minimnya informasi dan terbatasnya akses memaksa pasien untuk mengeluarkan uang membayar calo padahal seharusnya mereka bisa mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan tanpa harus mengeluarkan uang.

Pemberlakukan sistem rujukan berjenjang dimana untuk penyakit2 tertentu pasien harus melalui PPK 1 (mis: puskesmas), yang tidak didukung oleh SDM dan sarana prasarana yang memadai di fasyankes bersangkutan, pada beberapa kondisi justru memperlama penyembuhan penyakit pasien. Seperti hal nya yang dialami seorang pasien dengan penyakit mata di sebuah RS. Dimana sebelumnya pasien tersebut berobat di salah satu puskesmas, namun setelah beberapa kali pengobatan akhirnya dirujuk ke RS. Yang disayangkan adalah pasien dirujuk setelah penyakitnya semakin parah dan membutuhkan pengobatan yaag seharusnya tidak terjadi jika tidak terlambat penatalaksanaanya. Kembali lagi kepada proses kontrak BPJS dengan PPK, bagaimana proses seleksinya, apakah sudah melalui proses kredensialing seperti yang dipersyaratkan dalam PMK No. 71 Tahun 2013?

Ketersediaan fasyankes untuk menampung pasien yang membutuhkan pertolongan juga masih belum maksimal. Sehingga pada beberapa kasus terjadi penolakan pasien oleh PPK. Alih-alih memberikan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan, bahkan peserta BPJS tidak mendapatkan pertolongan yang seharusnya.

.Di sisi lain, evaluasi peserta belum terintegrasi dengan baik. Sebuah pengalaman dari salah seorang informan: ketika salah satu anggota keluarganya mengalami sakit parah yang mengharuskan dirawat di rumah sakit. Mengingat tingginya biaya perawatan dan pengobatan yang akan dijalani, maka pasien didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan. Keluarga pasien kemudian mengurus pendaftaran dan membayar iuran. Setelah terdaftar sebagai peserta, terhitung hari tersebut semua biaya perawatan/ pengobatan telah ditanggung oleh BPJS Kesehatan hingga pasien keluar dari rumah sakit. Namun ketika pasien telah keluar dari RS, pasien dan keluarga melupakan kewajiban mereka untuk membayar iuran setiap bulannya. Kasus ini besar kemungkinan juga terjadi di daerah lain. Dalam artian, jika semua pasein yang ‘membayar iuran sendiri’ bertindak seperti ini, maka subsidi silang dan gotongroyong yang menjadi prinsip pendanaan dalan JKN tidak akan berjalan dengan baik. Bahkan dikhawatirkan terjadi kebocoran pendanaan.

Lalu sejauh ini, apa yang sudah dilakukan pemerintah dan BPJS dalam upaya terlakasananya program JKN dengan baik?

Sebuah monitoring evaluasi yang berkesinambungan dan terintegrasi sangat diperlukan. Mekanisme pendaftaran agar lebih dipermudah dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Mengingat sasaran kepesertaan BPJS adalah hingga lini terkecil, maka sangatlah tidak cukup jika BPJS hanya mengandalkan kantor maupun petugas yang terpusat di pusat kabupaten/ kota. Seharusnya BPJS mempermudah akses masyarakat misalnya dengan menambah unit atau bekerjasama dengan puskesmas. Dengan demikian dapat menarik perhatian calon peserta dan meminimalisir antrian. Dan secara tidak langsung juga akan meningkatkan cakupan peserta terutama peserta mandiri.

Hal penting lainnya adalah mencegah terjadinya “moral hazard”. Dimana ketidaktahuan peserta/ calon peserta disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu baik dari lingkungan sosial maupun dari pelaksana pelayanan kesehatan sendiri. Ketersediaan SDM, sarana prasarana yang cukup dan informasi yang adekuat, akan sangat membantu mengatasi hal ini. Karena bagi masyarakat awam, apapun bentuk kebijakan kesehatan, pada intinya yang diharapkan adalah bagaimana mereka mendapatkan informasi, memperoleh akses, disediakan faskes yang memadai dan bagaimana mereka memperoleh pelayanan kesehatan yang seharusnya mereka dapatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun