Mohon tunggu...
Salma Fitriani Novanda
Salma Fitriani Novanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri K.H Abdurrahman Wahid

Meditation and learn to sing🐭✨💐

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

ABK Berhak Mendapatkan Pendidikan Terbaik: Dukung Pendidikan Inklusi!

5 Juni 2024   12:31 Diperbarui: 5 Juni 2024   12:39 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ABK adalah anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus akibat kelainan fisik, mental, intelektual, sosial, atau emosional. Kebutuhan ini dapat memengaruhi proses belajar dan perkembangan mereka dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Bukan berarti ABK tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka, tetapi ABK berhak mendapatkan pendidikan secara inklusif, dimana setiap individu merasa dihargai dihormati. Seperti pada kutipan Dr. Fredrick W. Richardson yang merupakan pakar pendidikan dari Universitas Alberta, Kanada, menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam memandang pendidikan inklusif. Menurutnya, pendidikan inklusif bukan hanya tentang menempatkan ABK di kelas reguler, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan belajar yang responsif terhadap kebutuhan semua anak.

ABK tidak hanya berhak atas sandang, pangan, dan kasih sayang yang berkecukupan. ABK yang lahir juga berhak atas memperoleh pendidikan, baik di sekolah umum maupun di sekolah luar biasa. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran menyebutkan bahwa satuan pendidikan harus menggunakan diversifikasi saat membuat kurikulum mereka, harus disesuaikan dengan keadaan satuan pendidikan, potensi daerah, dan jumlah siswa.

Pendidikan merupakan hak fundamental bagi semua manusia, tanpa terkecuali. Masa depan anak-anak yang cermelang akan percuma, jika ABK tidak mendapatkan hak khusus dalam pendidikan mereka semasa dini hingga usia dewasa. Pendidikan inklusif bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua pihak. Oleh sebab itu, semua pihak yang cerdas dan bertanggung jawab hendaknya memperhatikan serta mendahulukan kualitas pendidikan secara inklusif di Indonesia di atas kepentingan lainnya. Hal tersebut guna menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua anak.

Di Era Society 5.0 seperti saat ini, isu terkait pentingnya pendidikan inklusif masih menjadi permasalahan serius. Pendidikan inklusif di Indonesia seperti impian yang belum sepenuhnya terwujud. Harapan untuk menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak-anak pada umumnya dalam satu ruang belajar masih menghadapi berbagai masalah. Beberapa masalah pada pendidikan inklusif seperti: 1) kurangnya pelatihan tenaga pendidik, 2) sebaran data anak disabilitas yang tidak lengkap, 3) kurangnya infrastruktur dan, 4) fasilitas pendidikan dan pandangan keluarga bahwa anak dengan disabilitas tidak akan merasakan manfaat pendidikan sebesar anak tanpa disabilitas.

Inklusi merupakan sebuah pola pikir bagaimana memberi kesempatan sama kepada semua anak, salah satunya untuk belajar di kelas yang sama. Secara global, dalam beberapa tahun terakhir permasalahan terkait penurunan kualitas pendidikan inklusif ABK ini di laporkan oleh UNESCO tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 15% anak-anak penyandang disabilitas yang bersekolah di tingkat dasar. Laporan Pemantauan Global Pendidikan 2020 oleh UNESCO juga menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang signifikan dalam akses pendidikan antara anak-anak dari kelompok marjinal dan anak-anak dari kelompok yang lebih kaya. Jika dilihat di Indonesia menurut data pokok pendidikan (dapodik) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2021, terdata baru sekitar 12 persen sekolah inklusi. Di jenjang sekolah dasar (SD), ada 17.134 sekolah dengan jumlah 57.155 siswa. Sejauh ini sekolah inklusi baru dilaksanakan di 511 kabupaten/kota. Berdasarkan "Catatan Kebijakan Pendidikan Inklusif-Ringkasan Temuan Awal dari Bank Dunia" yang ditulis Sony Herdiana, Anna Hata, Joko Yuwono Ruwiyati Purwana, dan Shinsaku Nomura, hampir 30 persen anak dengan disabilitas tidak memiliki akses pendidikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa permasalah pendidikan inklusi di Indonesia masih menjadi permasalahan serius yang perlu segera dicarikan solusinya.

Pendidikan inklusif bagaikan pintu gerbang bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk menggapai mimpi dan masa depan yang gemilang. Namun, penurunan kualitas pendidikan inklusif dapat merenggut kesempatan emas mereka, menjerumuskan ABK ke dalam jurang keterpurukan, dan menghambat kemajuan bangsa. Tanpa akses pendidikan yang memadai, talenta dan kecerdasan mereka terkubur, terhalang oleh keterbatasan yang tak tertangani. Mimpi menjadi dokter, insinyur, seniman, atau ilmuwan pupus, tergantikan oleh kenyataan pahit keterbatasan akses dan kesempatan. Dampak fatal lainnya adalah mereka terjerumus ke dalam lingkaran isolasi dan diskriminasi. Masyarakat yang kurang memahami dan berempati akan memandang mereka sebagai individu yang berbeda dan tidak berharga, memperparah rasa rendah diri dan menghambat interaksi sosial. Penurunan kualitas pendidikan inklusif bukan hanya tragedi bagi ABK, tetapi juga ancaman bagi masa depan bangsa. Kehilangan potensi dan talenta ABK berarti kehilangan sumber daya manusia yang berharga. Bangsa kehilangan kesempatan untuk maju dan berkembang, terhambat oleh keterbatasan akses pendidikan yang berkualitas bagi semua anak.

Di tengah gempuran modernisasi dan kemajuan teknologi, Indonesia masih terjerat dalam dilema pendidikan inklusif. Luka lama yang terus menganga, terukir dari kisah-kisah pilu anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpinggirkan dari akses pendidikan yang layak. Kasus bocah autis inisial RA yang ditolak masuk ke SDN 01 Tambora, Jakarta Barat pada tahun 2018, menjadi simbol perlawanan terhadap stigma dan diskriminasi. Kemenangannya di PTUN Jakarta bagaikan setitik cahaya di tengah kegelapan, namun tak cukup untuk menyembuhkan luka hati para ABK lainnya yang masih terhalang menggapai mimpi. Di Lombok, tahun 2020, seorang anak berkebutuhan khusus dipaksa belajar di luar kelas, terasing dari teman-temannya. Video yang viral di media sosial bagaikan tamparan keras, membuka mata masyarakat akan realitas pahit pendidikan inklusif yang masih jauh dari harapan. Kisah pilu terus berlanjut di Banyumas tahun 2021, di mana seorang ibu ditolak saat hendak mendaftarkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke SMP. Penolakan ini bagaikan pisau bermata dua, melukai hati sang ibu dan sekaligus mengukir luka mendalam bagi masa depan sang anak. Di Depok, tahun 2022, seorang siswa berkebutuhan khusus diduga mengalami diskriminasi dari gurunya. Kejadian ini bagaikan pukulan telak bagi perjuangan mewujudkan pendidikan inklusif yang ramah dan penuh kasih. Kasus-kasus ini hanyalah secuil dari realitas kelam yang dihadapi ABK di Indonesia. Masih banyak sekolah yang belum siap menerima ABK, dan masih banyak guru yang belum memiliki kompetensi untuk mengajar mereka. Kurangnya koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait pun menjadi hambatan besar dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang berkualitas.

Di Indonesia, pendidikan inklusi merupakan tantangan yang besar, terutama karena masih kurangnya kesadaran dan sumber daya yang mampu mendukung implementasi pendidikan inklusi. Generasi muda memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan pendidikan inklusif di Indonesia. Sebagai agen perubahan, generasi muda dapat menjadi advokat yang memperjuangkan hak-hak pendidikan untuk semua anak, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Generasi muda dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan inklusi. Melalui kampanye sosial seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya, generasi muda dapat mengedukasi masyakat guna mendukung peningkatan kesadaran masyarakat agar menghasilkan pendidikan yang inklusi dan berkeadilan. Peningkatan kesadaran masyarakat akan membantu mempercepat implimentasi pendidikan inklusif di Indonesia.

Generasi muda dapat berperan sebagai fasilitator dalam memberikan dukungan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di lingkuan pendidikan. Mereka dapat menjadi relawan atau mentor bagi anak-anak tersebut dalam proses belajar dan mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Dengan adanya dukungan yang terus menerus dari generasi muda, anak-anak berkebutuhan khusus dapat merasa lebih termotivasi dan mendapat kesempatan yang sama dalam pendidikan. Selain itu generasi muda dapat memperjuangkan kebijakan dan program-program pendidikan inklusi yang lebih konkrit dan terintegrasi. Mereka dapat berpartisispasi dalam forum-forum diskusi, memberikan masukan dan advokasi kepada pemerintah dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan inklusi di indonesia. Dengan adanya kebijakan yang mendukung, implementasi pendidikan inklusi dapat lebih mudah diwujudkan. Dengan menjalankan peran-peran tersebut, generasi muda dapat memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan pendidikan inklusi di Indonesia. Pendidikan inklusi bukan hanya tentang memeberikan kesempatan yang bagi semua anak, tetapi juga menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusi, beragam, dan ramah bagi semua individu. Oleh karena itu, kerjasama dari pemerintah, organisasi internasional, masyarakat luas, dan generasi muda perlu memastikan bahwa semua anak, "regardless of their abilities, have the opportunity to reach their full potential." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun