Mohon tunggu...
salma husna
salma husna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar di Universitas Airlangga

Musik, matcha, dan mengamati isu-isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Aktivisme Performatif Masyarakat Indonesia dalam Menyuarakan Kampanye Sosial

2 Januari 2025   14:31 Diperbarui: 2 Januari 2025   14:36 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Nikolas Gannon on Unsplash       

Jika kita tarik balik pada bulan Juni hingga Oktober tahun 2024 kemarin, banyak sebaran template story Instagram yang menyuarakan urgensi 'Free Palestine' dan 'Ceasefire Now' diiringi gambaran mengerikan dari dampak kekejaman genosida yang dilakukan oleh Israel dan tentara zionisnya.  Template demi template kian menjamuri akun media sosial teman, saudara, kolega, bahkan artis ternama. Lucunya, 'fenomena' ini berlangsung cukup singkat. Cukup menunggu sekitar tiga minggu untuk unggahan-unggahan tersebut hilang keberadaannya, sementara peristiwa yang dikampanyekan masih berlangsung hingga detik ini, dengan keadaan yang jauh lebih buruk setiap saatnya. Bahkan, berita terkini mengabarkan bahwa Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahia, yang merupakan rumah sakit terakhir yang masih beroperasi, telah hancur akibat serangan Israel. Namun, dari yang saya lihat, tidak ada satu pun orang yang menyuarakan kejadian yang menghancurkan tersebut, kesannya seperti genosida yang berlangsung ini hanya berdampak pada sejenak periode waktu yang lalu.

Bulan September lalu juga menambah keheranan saya. Ribuan tiket konser artis tingkat global, Bruno Mars, yang digelar di Jakarta International Stadiun (JIS) habis ludas. Dari video dan foto yang tersebar, stadium yang berkapasitas 82,000 orang itu penuh diisi oleh lautan manusia. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa sang penyanyi merupakan seseorang yang vokal dalam menyampaikan kecintaannya terhadap Israel dan mendukung secara finansial ekonominya dengan menggelar beberapa konsernya disana. Bukankah baru bulan lalu mereka mengunggah ilustrasi dari seorang anak yang terkena bom darat Israel di tanah Palestina sana? Bukankah ini kontradiktif sekali dari apa yang disuarakan dan dilakukan? Hal-hal ini terus menimbulkan beberapa pertanyaan di dalam diri saya mengenai kredibilitas sikap yang tempo waktu lalu ditunjukkan. Apakah individu-individu tersebut benar-benar memahami problematika yang dibahas, dan dengan itu berniat untuk memperjuangkan apa yang disuarakannya, ataukah semata untuk memberi audiens pengakuan diri bahwa dirinya seorang yang humanis dan berperasaan?

Kejadian-kejadian di atas merupakan salah satu contoh aktivisme performatif yang seringkali dijumpai di berbagai media sosial. Mengutip dari A. Freya Thimsen dalam artikel jurnalnya 'What is Performative Activism?' performative activism merupakan label kritis yang digunakan untuk menggambarkan dukungan dangkal atau yang hanya bertujuan untuk kepentingan pribadi terhadap isu-isu keadilan sosial. Bahasa mudahnya, aktivisme ini dilakukan hanya dengan tujuan untuk menunjukkan dukungan terhadap suatu isu atau gerakan sosial, tanpa adanya usaha kelanjutan dalam memperjuangkan gerakan yang dipromosikannya. Bentuk aktivisme ini seringkali didasari oleh perasaan masing-masing individu yang merasa perlu untuk ikut melibatkan dirinya dalam isu yang sedang menyebar luas, dengan niatan untuk membangun image dan branding diri di mata orang lain. Kejadian pembunuhan George Floyd oleh polisi di Amerika Serikat pada tahun 2020 lalu juga merupakan salah satu contoh besarnya. Fenomena ketidakadilan dan rasisme terhadap kelompok ras atau etnis non-putih, terutama pada orang kulit hitam, telah berlangsung berabad-abad lamanya, mengakar dari zaman perbudakan di masanya. Tak terhitung berapa nyawa yang sudah melayang akibat tindakan kekerasan tersebut. Namun, mengapa baru ketika ada liputan media tentang kejadian tersebut, orang-orang baru mau membuka matanya dan menyadari akan ketidakadilan yang dihadapi oleh orang kulit hitam selama ini? Dan apakah dengan hanya memasang unggahan dengan tagar #blacklivesmatter, upaya tersebut memberi perubahan terhadap isu sosial ini?

Secara teknis, aktivisme performatif ini tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai suatu tindakan yang buruk. Banyaknya masyarakat yang mulai sadar akan isu-isu penting di sekitarnya merupakan awalan yang bagus untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat. Meskipun begitu, bukankah lebih baik jika kesadaran tersebut disertai oleh tindakan yang memberi dampak lebih? Mulai dari mempelajari sejarah terjadinya isu tersebut, mengedukasi diri sendiri tentang topik yang berkaitan, memberi pemahaman kepada orang-orang lain, ikut menyumbang dalam penggalangan dana, turut serta mengikuti prosedur boykot, meminta pertanggungjawaban dari pihak oposisi atas tindakan agresif dan destruktifnya, dan lain sebagainya. Dengan begitu, aksi kampanye tentang isu yang terkait bisa bekerja dengan efektif, tidak hanya berhenti di unggahan selama 24 jam itu dan tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai isu yang dia angkat. Selebihnya, tindakan lanjut ini penting untuk diterapkan demi mencegah kemandekan proses berpikir kritis masyarakat Indonesia. Hal ini juga bisa menjadi pengukur kesadaran sosial, dimana dapat dilihat dari sejauh mana upaya yang dilakukan atas nama isu yang dikampanyekan untuk mempertahankan nilai kemanusiaan di dalam diri masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun