Fenomena pembelaan terdakwa dengan klaim gangguan mental adalah strategi hukum yang umum digunakan dalam sistem peradilan kriminal. Pernyataan tersebut dapat mencakup argumen bahwa terdakwa pada saat kejahatan dilakukan mengalami gangguan mental yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk memahami sifat jahat perbuatannya atau mengendalikan perilaku mereka. Dalam konteks ini, psikolog forensik memainkan peran kunci. Psikolog forensik adalah ahli psikologi yang memiliki pengetahuan khusus tentang hubungan antara psikologi dan sistem hukum.Â
Tentu saja pernyataan mereka sebagai saksi ahli yang sudah disumpah di depan hakim sebelum menyampaikan pendapatnya di ruang sidang itu harus diakui kebenarannya. Namun tak jarang terdapat oknum yang rela melanggar sumpah tersebut untuk keuntungannya sendiri tanpa memikirkan profesionalisme profesinya. Hal ini tentunya dapat mencoreng kontribusi positif psikologi dalam ranah hukum. Oleh karena itu, seperti halnya profesi lainnya, praktik psikologi forensik juga harus mengikuti pedoman etika yang telah ditetapkan.Â
Kode Etik Psikologi Indonesia, khususnya pada Bab X yang mencakup Psikologi Forensik, memberikan landasan bagi para psikolog dan ilmuwan psikologi untuk menjalankan tugas mereka dengan integritas dan profesionalisme. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi beberapa aspek kunci dalam Kode Etik tersebut dan bagaimana mereka dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan dalam lingkup peradilan.
-
Tanggung Jawab dan Kompetensi Psikolog Forensik
Pasal 57 menekankan pentingnya kompetensi dalam praktik psikologi forensik. Psikolog dan ilmuwan psikologi harus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang sesuai dengan tanggung jawab mereka. Dalam menghadapi permasalahan seperti evaluasi psikologis terhadap pelaku atau korban kriminal, psikolog harus memastikan bahwa mereka mematuhi standar psikologi forensik dan memahami sistem hukum di Indonesia.
Pentingnya tanggung jawab dan wewenang juga ditegaskan dalam Pasal 58. Psikolog forensik memiliki peran vital dalam membantu proses peradilan pidana, dan dalam hal ini, mereka harus berpegang teguh pada prinsip profesionalitas dan objektivitas. Memberikan laporan atau kesaksian harus didasarkan pada pemeriksaan psikologi yang sesuai standar, dan jika ada keterbatasan dalam pemeriksaan, psikolog wajib menjelaskan hal tersebut dengan jelas.
Pernyataan sebagai Saksi atau Saksi Ahli
Pasal 59 mengatasi peran psikolog sebagai saksi atau saksi ahli. Komitmen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan harus menjadi prioritas utama dalam memberikan kesaksian. Dalam situasi di mana konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat dan aturan hukum muncul, psikolog diharapkan untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan menunjukkan komitmen terhadap Kode Etik. Kolaborasi antara psikolog dalam suatu proses peradilan juga ditekankan untuk mencegah atau menyelesaikan konflik yang mungkin timbul.
Peran Majemuk dan Profesionalisme
Pasal 60 memberikan panduan mengenai peran majemuk yang mungkin diemban oleh psikolog. Meskipun peran majemuk terkadang tidak dapat dihindari, profesionalisme dan objektivitas harus tetap dijaga. Hal ini relevan ketika psikolog terlibat dalam peran ganda, misalnya sebagai konsultan dan saksi di pengadilan. Kejelasan mengenai peran masing-masing harus ditegaskan sejak awal untuk mencegah kesalahpahaman dan konflik yang mungkin timbul.
Pernyataan Melalui Media
Terakhir, Pasal 61 membahas pernyataan melalui media terkait dengan psikologi forensik. Psikolog yang memberikan pernyataan publik harus mempertimbangkan kewenangan mereka dalam melakukan pemeriksaan psikologi terhadap kasus tertentu. Hal ini penting untuk menjaga integritas profesi dan menghindari informasi yang tidak akurat atau menyesatkan.
Dengan mengikuti pedoman yang telah ditetapkan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia, psikolog forensik dapat memainkan peran mereka dengan efektif dan etis dalam menangani berbagai permasalahan yang seringkali kompleks di masyarakat. Jika seorang psikolog forensik berpegang teguh pada kode etik psikologi, diharapkan bahwa mereka akan menunjukkan integritas, keobjektifan, dan komitmen terhadap keadilan dalam praktik profesional mereka. Mereka akan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh selama evaluasi terhadap terdakwa dan memastikan bahwa pendekatan mereka didasarkan pada metode ilmiah yang tepat.Â
Psikolog forensik yang berpegang pada kode etik juga akan memastikan bahwa laporan dan kesaksian mereka akurat dan jelas, mencerminkan temuan yang objektif. Selain itu, mereka akan berusaha untuk memahami dampak sosial dan legal dari pekerjaan mereka dan bekerja untuk meminimalkan potensi kerugian atau dampak negatif terhadap individu atau masyarakat. Dengan demikian, kehadiran psikolog forensik yang mematuhi kode etik psikologi dapat meningkatkan integritas sistem peradilan dan memberikan kontribusi positif terhadap keadilan.
Referensi:
Asa, A. I. (2023). Psikologi Forensik sebagai Ilmu Bantu Hukum dalam Proses Peradilan Pidana. Proceeding Series Of Psychology, 1(1), 1-9