Labuhan adalah salah satu tradisi yang berasal dari Kota Yogyakarta. Labuhan dapat dijelaskan sebagai salah satu upacara adat yang dilakukan oleh Raja - raja di Keraton Yogyakarta. Upacara adat ini memiliki tujuan untuk memohon keselamatan Kanjeng Sri Sultan, Kraton Yogyakarta dan Rakyat Yogyakarta. Â Sebagai salah satu contohnya adalah upacara Labuhan di Pantai Parangkusumo. Tradisi adalah salah satu gambaran sikap dan juga perilaku manusia yang sudah terjadi dalam waktu yang lama, hal ini juga merupakan hal yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Labuhan di Pantai Parangkusuma biasanya dilaksanakan pada setiap 1 sura. Hal ini dimitoskan atau dipercayai adanya pertemuan Panembahan Senopati dengan Nyi Roro Kidul, berbeda dengan larung sesaji ke lautan yang hanya dilakukan dengan sederhana. Â Labuhan bukan hanya sekedar mitos dari nenek moyang agar terhindar dari bahaya, akan tetapi labuhan ini menjadi tradisi yang dilestarikan semata- mata sebagai rasa syukur terhadap yang maha agung atas limpahan anugerah yang sudah diterima. Tradisi merupakan sebuah kegiatan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Masyarakat berkeyakinan bahwa barang yang sudah dilabuh saat tradisi berlangsung memiliki keberkahan tersendiri apabila masyarakat mengambil barang yang sudah di labuh. Labuhan sendiri berasal dari kata " Labuh " yang memiliki arti " larung ", yang dapat diartikan sebagai membuang sesuatu ke laut atau ke air.
Labuhan sendiri memiliki arti sesaji kepada roh halus yang berkuasa pada suatu tempat. Upacara labuhan ini dilaksakan sebelum hari penobatan Sri Sultan yang sudah memimpin kerajaan, sehingga setiap pergantian raja akan terjadi pergantian jadwal upacara labuhan, karena masing- masing raja berbeda waktu penobatannya. Sebenarnya upacara labuhan yang diadakan oleh Kraton itu dimaksudkan agar rakyatnya selalu dalam keadaan selamat, sejahtera dan juga hidup tentram. Walaupun yang mengadakan adalah pihak Kraton, tetapi dalam pelaksaannya saat upacara berlangsung, rakyat juga ikut turut serta memeriahkan acara tersebut. Oleh karena itu masyarakat juga merasa ikut melakukan atau melaksanakan upacara adat tersebut, dan karena terus menerus dilakukan, maka masyarakat juga merasa memiliki upacara adat tersebut dan ikut melestarikannya. Â
Pantai Parangkusumo di Bantul Yogyakarta adalah salah satu tempat yang digunakan untuk melaksanakan labuhan secara besar- besaran. Saat upacara labuhan tersebut berlangsung, banyak masyarakat yang berkumpul, dan rela jauh- jauh untuk datang dalam ritual tersebut dan memiliki tujuan yang berbeda- beda. Ada yang datang hanya untuk melihat upacara tersebut berlangsung, dan ada juga yang datang untuk mendapatkan berbagai jenis benda sajian, dikarenakan benda yang sudah dilabuh tersebut telah diberi doa selamat, sehingga oleh masyarakat dapat mendatangkan berkah bagi mereka. Labuhan yang dilaksanakan di Pantai Parangkusumo ini biasanya diikuti oleh banyak warga wilayah tersebut. Tidak heran jika saat Upacara labuhan ini berlangsung wilayah pantai menjadi sangat ramai dan penuh oleh warga yang datang.
Tidak sedikit juga warga yang datang hanya karena penasaran dengan upacara labuhan tersebut. Untuk upacara labuhan di Pantai Parangkusumo, sesudah keluar gerbang Kraton, barang- barang diangkat menuju ke arah pantai selatan yaitu Pantai Parangkusumo. Iring- ringan ini akan berakhir atau berhenti di Pendopo Kecamatan Kretek sebagai pemangku wilayah Pantai Parangkusumo. Di tempat ini juga dilaksanakan Upacara pasrah penampi uba rampe atau serah terima oleh utusan Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada wakil pemerintah Kabupaten Bantul. Ditempat ini juga barang- barang yang dibawa dibuka satu persatu dan juga diperiksa.
Setelah acara selesai dan semua sudah lengkap diperiksa, barang tersebut kemudian didoakan bersama- sama, agar menjadi berkah bagi semua warga. Kemudian dilanjutkan dengan arak- arakan yang diarahkan untuk menuju ke laut, ke Pantai Parangkusumo. Barang- barang yang berasal dari Kraton Yogyakarta sendiri biasanya terdiri dari potongan kuku Sri Sultan dan juga pakaian atau juga barang pribadi yang berasal dari Kraton. Saat upacara berlangsung juga terlihat gunungan yang berisi hasil panen rakyat yang biasa ya dijadikan rebutan oleh masyarakat yang datang. Â Di tempat itu juru kunci juga membakar kemenyan untuk memberi tanda bahwa upacara labuhan sudah dimulai. Setelah itu semua barang di labuh atau di larung ke laut.
Sebelum semua ubo rampe dihanyutkan ke laut, para warga yang melihat dan mengikuti upacara tersebut sudah beramai- ramai berlari menuju ke laut untuk berebut berkah dari barang- barang yang dilabuh tersebut. Mereka bahkan merelakan tubuhnya basah kuyup karena terkena air laut dan juga ombak pantai. Â Sajen labuhan atau sesaji yang digunakan dalam tradisi labuhan dibuat secara bersama- sama dengan sajian untuk sugengan plataran. Sajian ini sendiri dibuat oleh dua pawon Kraton Yogyakarta. Yaitu pawon Sakalanggen atau dapur sebelah timur dan juga pawon Gebuka atau dapur sebelah barat.
Didalam sesaji yang dibuat tersebut terdiri dari sanggan, tukon pasar, pala kapendhem lan pala kasimpar. Â Upacara labuhan yang sudah dijadikan tradisi oleh masyarakat keraton dan juga masyarakat wilayah Pantai Parangtritis dan sekitarnya terbagi menjadi dua macam tradisi labuhan. Yang pertama Labuhan Alit dan yang kedua Labuhan dari Keraton Labuhan Agung. Labuhan Alit dapat disimpulkan sebagai labuhan yang dilakukan atau diadakan oleh pihak Kraton. Sedangkan labuhan dari Kraton Labuhan Ageng adalah labuhan yang diadakan untuk memperingati lahirnya Sri Sultan dan Diperingati delapan tahun sekali. Â Upacara labuhan ini adalah sebuah tradisi yang sudah turun temurun ada sejak zaman dahulu. Oleh karena itu upacara labuhan ini dijadikan sebagai tradisi oleh masyarakat Yogyakarta dan akan selalu dilestarikan oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H