Akhir-akhir ini terdapat isu mengenai polisi militer yang menangkap anggota Densus 88 Antiteror gara-gara membuntuti jampidsus ketika menemui gubernur yang di daerahnya terdapat tempat timah yang dikorupsi. Sampai sekarang, Pihak kepolisian sendiri masih belum memberikan penjelasan yang menyeluruh terkait peristiwa ini.Â
Dari sini kita dapat melihat bahwasanya ada intervensi secara tidak langsung oleh Densus 88 terhadap Jampidsus padahal kedua lembaga tersebut memiliki wewenang atau tupoksi tugas yang berbeda. Jampidsus atau yang merupakan singkatan dari jaksa muda tindak pidana khusus memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana khusus. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Densus 88 berdiri dibawah jajaran Polri dengan payung hukum berupa Keputusan Kapolri No.30/VI/2003. Sedangkan densus 88 yang merupakan singkatan dari Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian memiliki wewenang untuk mengawasi dan memata-matai potensi serangan teror atau jaringan lain yang mengancam publik atau negara. Hal ini juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik IndonesiaÂ
     Adanya pembuntutan Jampidsus yang dilakukan oleh densus 88 sejatinya keluar dari tupoksi tugas yang dikerjakan. Antara tindak pidana khusus dan teror memiliki substansi permasalahan yang berbeda. Didalam kedua Undang-Undang lembaga tersebut juga tidak ada yang menyatakan bolehnya campur tangan dari lembaga lain untuk penyelesaian kasus.Â
Apalagi yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah tentang korupsi timah yang masalahnya sudah timbul dari tahun 2016 dan baru terungkap pada saat ini korupsi tersebut sudah mencapai nominal 271 T. Maka timbul spekulasi, bahwa ada orang dibalik lembaga tersebut yang menyuruh untuk melakukan pembuntutan tersebut. Karena itulah perlu ditekankan adanya ruang privasi agar berita atau info yang tidak seharusnya didengar harus didengar dahulu hal ini tentunya sejalan dengan UUD 1945 pada pasal 28G ayat 1 bahwasanya Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman.Â
Akan tetapi, anggota Densus 88 tersebut tidak masuk kedalam bagian ranah intervensi yang serius karena tidak ada usaha menganggu serta menggagalkan suatu kegiatan yang akan merugikan Jampidsus itu sendiri. Tetapi tetap saja anggota densus 88 tersebut salah karena nganggu privasi lembaga lain ketika melaksanakan tugas. Maka, pembuntutan yang dilakukan oleh Densus 88 tidak mencerminkan kompleksitas hubungan antara lembaga-lembaga pemerintah dalam menjaga keamanan dan keadilan. Karena setiap lembaga memiliki tugas, kode etik, dll yang berbeda dengan bidang lainnya.Â
       Keterbukaan dan transparansi adalah kunci untuk menyelesaikan kebingungan dan kecurigaan yang melanda. Dengan adanya keterbukaan dan transparansi, kebingungan dan kecurigaan yang mungkin muncul di kalangan masyarakat atau pihak terkait dapat diminimalisir. Orang-orang akan merasa lebih percaya dan yakin bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan dan tidak ada yang disembunyikan. Hal ini pada akhirnya dapat membantu menyelesaikan masalah dengan lebih efektif . Oleh karena itu, tidak boleh adanya pembuntutan yang dilakukan oleh suatu lembaga negara kepada negara lain apabila tidak ada substansi yang mengaturnya. Karena apabila ada suatu maksud kepentingan tertentu yang ingin dituju dalam pembuntutan tersebut maka penyelesaian perkara khususnya perkara yang sangat sensitif saat ini mengenai korupsi timah tidak akan menemukan dalang dan penyelesaiannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H