Mohon tunggu...
SALMA ROHADATULAISY
SALMA ROHADATULAISY Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Untirta

Saya tertarik dalam dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dampak Kurangnya Guru Pendamping pada Perkembangan Anak Inklusi

17 Maret 2024   09:00 Diperbarui: 17 Maret 2024   09:08 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan inklusi adalah penyelenggaraan pendidikan yang memastikan peserta didik memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam mendapatkan hak-hak pendidikan mereka, sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Tujuan utama dari pendidikan inklusi adalah menciptakan masyarakat yang inklusif di Indonesia, yang dapat dicapai melalui pendirian sekolah yang menerapkan sistem pendidikan inklusi.

Sejak diperkenalkannya konsep inklusi dalam pendidikan, banyak harapan dan aspirasi yang tersemat di dalamnya. Inklusi membawa visi untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif bagi semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. 

Namun, tantangan yang masih dihadapi adalah keterbatasan jumlah guru pendamping yang memahami konsep pendidikan inklusi. Masalah ini menghambat penerapan kurikulum dan proses pembelajaran. Padahal, peran penting tenaga pendidik dalam menciptakan lingkungan inklusif di sistem pendidikan Indonesia.

Guru pendamping khusus adalah Center of Education bagi peserta didik inklusi yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan sekolah inklusi sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 yang meliputi bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendampingan anak berkebutuhan khusus (inklusi) pada kegiatan pembelajaran di kelas bersama dengan anak-anak pada umumnya (regular), memberikan bantuan layanan khusus bagi mereka yang mengalami hambatan dalam mengikuti pembelajaran di kelas umum, memberikan bimbingan secara berkelanjutan dan membuat catatan khusus terkait kegiatan pembelajaran berlangsung di kelas.

Peserta didik yang memiliki kebutuhan inklusi memerlukan bantuan tambahan dan pendampingan khusus agar dapat mengakses pembelajaran dengan efektif. Namun, ketika sekolah tidak tersedia guru pendamping khusus untuk mendukung mereka, hal ini menyebabkan anak-anak inklusi tidak mendapatkan perhatian yang cukup, dan mengganggu perkembangan kognitif mereka. 

Salah satu dampak yang paling jelas dari kekurangan guru pendamping adalah ketidakmampuan untuk memberikan perhatian individual yang memadai kepada setiap anak. 

Anak-anak dengan kebutuhan inklusi sering memerlukan bantuan tambahan dalam memahami materi pelajaran, menjalani instruksi yang disesuaikan dengan gaya belajar mereka, dan mengatasi hambatan kognitif mereka. Tanpa bantuan ini, mereka mungkin tertinggal dalam pembelajaran atau bahkan merasa terisolasi dalam lingkungan sekolah yang seharusnya inklusif.

Selain itu, kurangnya guru pendamping juga dapat menghambat kemampuan guru kelas untuk fokus pada seluruh kelasnya. Ketika seorang guru harus menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus tanpa bantuan tambahan, ini dapat memakan waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk mengajar seluruh kelas. Akibatnya, anak-anak tanpa hambatan belajar pun dapat mengalami penurunan kualitas pengajaran mereka, karena perhatian guru menjadi terbagi.

Kekurangan guru pendamping juga dapat mempengaruhi interaksi sosial anak-anak di lingkungan sekolah. Anak-anak dengan kebutuhan khusus sering kali memerlukan bantuan tambahan untuk berinteraksi dengan teman sebaya mereka, belajar keterampilan sosial, dan membangun hubungan yang sehat. Tanpa bantuan ini, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menciptakan hubungan yang kuat dan merasa diintegrasikan dalam komunitas sekolah.

Dalam salah satu pasal di Permendiknas No.70 Tahun 2009, tertulis bahwa pemerintah wajib menyediakan guru pendamping bagi sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi. Kenyataannya tidak seperti itu. Sebagai contoh kasus, pada 2017 ada 1.138 siswa tuna grahita ringan dan sedang yang bersekolah di sekolah inklusif negeri. 

Namun jumlah GPK hanya 41. Jumlah siswa tersebar di 34 provinsi namun GPK hanya ada di 18 provinsi. Contoh lainnya, pada 2024 di salah satu Sekolah Dasar Kota Cilegon sebagai sekolah inklusi, tetapi tidak memiliki guru pendamping khusus untuk peserta didik yang berkebutuhan inklusi. Menurut kepala sekolah tersebut, banyak peserta didik yang berkebutuhan inklusi slow learner sebanyak 15 orang yang terbagi dalam beberapa kelas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun