Dan di suatu pagi ketika mataku menjadi langit paling basah, keyakinan seakan-akan melarikan diri menjadi marabahaya, menjadi cuaca yang begitu gelisah. Pilihan satu-satunya saat itu mengandung perdebatan-perdebatan yang tak mampu untuk di putuskan.Â
Aku lebih memilih terbaring dengan mantra-mantra yang tak bisa di baca dan sulit di pahami sebagian orang. Sebab mencintaimu bagaikan senyum yang gagal kupecahkan dan mimpi yang berantakan.Â
Aku bahkan selalu gelisah dan tak mampu berbuat apa-apa selain menertawakan diriku sendiri dengan pelipis bibir yang haru dan mata yang menghujam. Suasana diriku sendiri dengan pelipis bibir yang haru dan mata yang menghujam. Suasana memang begitu keliru bagi tubuhku yang terlihat paru.Â
Kesedihan begitu terlihat meski belum tergambar dengan jelas. Kuelus sendiri tubuhku dan membelai kepalaku yang hampir pecah di atas pangkuan kesedihan itu. Lalu membiarkan tubuh terbaring nyaman di atas selimut dengan marabahayanya.
Saat itu, tempat tidur adalah salah satu bekas luka dan kesendirian yang masih begitu liar dengan kesedihan yang berkepanjangan. Meski waktu dan almanak menghilangkan beberapa hari dan angka, juga mengulang kehidupan.Â
Aku perempuan yang sedang merendamkan tubuh di atas kesedihanku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H