Demikianlah itu. Di antara langit mata kita awan mendung berguguran sebagai ciuman, membekas dan lupa menjadi pelupa. Langit yang sobek itu telah kita jahit dengan tersedu-sedu, lalu kesedihan berhasil menjadi lusuh dan terbang mencari jalan keluar, hilang seakan diculik.
Suatu ketika matahari bangkit, aku ingin melukis warna pagi di keningmu bersama embun, aku ingin menyentuh sesatu dengan hatiku. Adalah hatimu yang selalu bara dan menyala-nyala. Yang itu dapat menyelipkan hatiku untuk tetap mencintaimu. Lalu pada hari yang rupa kamu, cinta akan mengalir begitu deras di antara dada kita. Membuat potongan halaman saat hari menjelma senyuman.
Aku ingin menjadi penyair dari alam semesta ini. ingin kutuliskan keyakinan-keyakinan dan lebih banyak cinta untuk menemukanmu lebih dalam lagi. Agar kita menjadi satu dengan ranjang yang menyediakan mimpi, kau akan berdo'a dan mencari-cari warna wajahku hingga usia senja. Sedang aku menyediakan rumah di dadaku untuk merangkakmu menuju bahagia. Sebab hatiku adalah sampan kecil tempat kau berlabuh selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H