Tren Harga Tiket Konser yang Terus Meningkat
Belakangan ini, kita menyaksikan lonjakan pertunjukan konser musisi dan artis luar negeri di Tanah Air. Promotor berlomba menghadirkan idola internasional untuk menggelar konser di sejumlah kota besar. Namun, di balik euforia ini, muncul keprihatinan terhadap harga tiket yang cenderung melambung tinggi dan seolah tak terjangkau bagi kalangan penikmat musik pada umumnya.
Kita tak dapat memungkiri daya tarik konser artis kelas dunia. Mereka membawa pertunjukan spektakuler dengan tata panggung yang megah dan kemasan produksi yang memikat. Namun, kenikmatan ini seolah hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang mampu membeli tiket dengan harga selangit. Tidakkah ini menjadi kontradiksi dengan semangat musik yang seharusnya mempersatukan dan menghibur semua kalangan?
Untuk memberi gambaran, harga tiket konser Coldplay di Jakarta pada 2023 mencapai Rp5 juta untuk kategori tertinggi. Bandingkan dengan harga tiket konser Dewa 19 di kota yang sama pada tahun yang sama, yang berada di kisaran Rp350 ribu hingga Rp2 juta. Kedua grup ini memiliki level popularitas yang setara, baik di kancah domestik maupun internasional. Namun, terdapat perbedaan harga tiket yang cukup mencolok.
Harga tiket konser yang melampaui kewajaran tentu akan mengecilkan peluang bagi para penggemar untuk menyaksikan idolanya secara langsung. Bukan tak mungkin, mereka akan mencari alternatif lain yang lebih terjangkau, seperti mengunduh rekaman video atau menonton siaran langsung di media sosial. Bukankah ini menjadi kerugian bagi industri hiburan itu sendiri?
Harga tiket konser yang mahal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti biaya mengontrak musisi atau grup band ternama, biaya produksi yang besar untuk memenuhi standar pertunjukan kelas dunia, serta biaya sewa venue yang mahal, terutama di kota-kota besar. Selain itu, permintaan tinggi dari penggemar juga turut mendorong lonjakan harga tiket melalui skema penjualan online yang kerap menggunakan sistem lelang.
Harga tiket konser yang melampaui kewajaran tentu akan mengecilkan peluang bagi para penggemar untuk menyaksikan idolanya secara langsung. Bukan tak mungkin, mereka akan mencari alternatif lain yang lebih terjangkau, seperti mengunduh rekaman video atau menonton siaran langsung di media sosial. Bukankah ini menjadi kerugian bagi industri hiburan itu sendiri?
Sudah saatnya promotor dan pihak terkait meninjau kembali kebijakan penetapan harga tiket. Mereka perlu mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat Indonesia yang beragam. Mungkin, solusi yang dapat ditempuh adalah menyediakan lebih banyak kategori tiket dengan rentang harga yang lebih beragam dan terjangkau bagi semua kalangan. Dengan begitu, konser musik tak lagi menjadi konsumsi eksklusif bagi segelintir orang, melainkan dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat.
Musik adalah bahasa universal yang seharusnya mempersatukan, bukan memecah-belah. Marilah kita menjaga keberlangsungan industri hiburan musik di Tanah Air dengan tetap memperhatikan aspek keterjangkauan bagi seluruh lapisan masyarakat. Hanya dengan cara itu, kita dapat memastikan bahwa selebrasi musik dapat dirayakan bersama-sama tanpa sekat dan batasan.