Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wau-wau dan Perempuan

23 September 2014   18:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:49 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14114473621015985029

Memasuki restaurant di Berlin & kemudian dapat tetangga yang sedang makan atau baru datang dengan wau-waunya (anjingnya), bukanlah pemandangan yang langka. Tidak banyak restaurant yang benar-benar menerapkan hygienitasnya dengan melarang pengunjung membawa wau-waunya, walaupun yang dijualnya adalah makanan. Herannya justru larangan ini sangat keras berlaku di supermarket. Pusing....melihat timpangnya peraturan ini.

Kita punya langganan restaurant Vietnam yang melarang pengunjungnya membawa wau-wau, dengan memasang tanda di pintu masuknya. Selain menunya yang enak, kita juga termasuk orang yang tidak setuju pengunjung restaurant bercampur-baur dengan binatang, karena alasan yang sudah saya sebutkan di atas.
Suatu ketika kita melihat 2 wanita muda masuk dengan seekor wau-wau yang cukup besar & duduk tidak jauh dari meja kita. Suami memberitahukan pelayan, bahwa hal itu tidak diperbolehkan, karena tanda sudah jelas-jelas terpasang. Si pengunjung akhirnya keluar, setelah pelayan berbicara dengannya. Mungkin lebih baik tidak makan, daripada wau-wau tidak ikut, pikir saya. Kejadian seperti ini terulang lagi beberapa minggu kemudian. Hanya pelayan kali ini sepertinya tidak mau ambil pusing (cuek) atau apalah & membiarkan tamu beserta wau-waunya memesan makanan. Pengunjung yang lain juga nggak ada yang bereaksi. Hanya kita yang lagi-lagi harus komplain. Karena tidak ada reaksi dari si pelayan untuk menegur si tamu, akhirnya kita putuskan untuk pergi, walaupun makanan sudah dipesan. Hampir 1 tahun kita tidak datang ke restauran itu lagi. Untuk kita ini adalah soal prinsip. Jika ada larangan untuk wau-wau masuk ke restaurant, hendaknya pelayan wajib menegur pengunjungnya yang 'nakal'. Dan bukannya pura-pura tidak melihatnya.
Kalau di pintu masuk tidak ada tanda apapun, kita pun akan menerimanya, walau dalam hati dongkol juga.

Berlin sebagai ibukota Jerman dengan jumlah penduduk 3,5 juta (menurut laporan harian  Süddeutsche tahun 2012), merupakan salah satu kota yang banyak wau-waunya. Diperkirakan jumlah wau-wau mencapai 165 ribu ekor & hanya 98.315 ekor yang terdaftar. Dengan jumlah sebanyak itu, maka kotoran (maaf !) yang dihasilkannya pun sudah seperti gunung, 55 ton/hari menurut perkiraan Umweltverwaltung (badan pengurus lingkungan). Kalau setiap pemilik wau-wau punya kesadaran untuk mengambil kotoran wau-waunya yang ditinggalkan di jalan, taman, atau mana saja, tidak jadi masalah. Tapi kebanyakan dibiarkan begitu saja setelah wau-waunya buang hajat. Mungkin hanya 30% yang masih punya kesadaran tentang artinya kebersihan & mau melakukannya.
Hukum untuk itu (berupa denda) memang sudah ada, yang besarnya berbeda di setiap daerah di Berlin, mis. di Pankow 35€, Neukölln 55€, dan yang terbesar 300€, spt.di Friedrichshain-Kreuzberg, seandainya pemilik wau-wau tidak mengambil kotoran itu. Tapi.... karena kurangnya petugas pengawas & jarangnya orang melapor atau menegur langsung, jika melihat wau-wau buang hajat di depan mata, maka hukum seperti tidak jalan. Suami pernah menegur wanita pemilik wau-wau yang pura-pura tidak melihat piaraannya buang hajat di halaman depan garasi kita.

Sebagai orang yang kerjanya ngukur jalan, habis kemana-mana saya selalu pakai transportasi umum, makanya saya selalu perhatikan kebersihan jalan dari kotoran itu. Walaupun sudah ekstra hati-hati & mata jelalatan ke mana-mana, tetap saja beberapa kali saya menginjaknya, terutama di musim gugur, yang tidak bisa terlihat karena tertutup dedaunan yang rontok & juga di musim dingin, sebab tertutup salju.
Karena terdorong rasa ingin tahu, siapa sih pemilik (perempuan atau lelaki) mayoritas si kaki 4 ini, makanya iseng-iseng saya melakukan penghitungan. Seperti yang sudah saya perkirakan, ternyata mayoritasnya adalah perempuan. Dari 3-5 pemilik wau-wau yang saya jumpai (rata-rata), hanya 1 pemiliknya yang laki-laki. Suami pun mengiyakan, bahwa perempuanlah mayoritas penyuka wau-wau. Dan pendapat saya ini diperkuat juga dengan hasil angket yang dilakukan Pedigree (produsen makanan wau-wau) di Verden dengan melibatkan 2.443 pemilik & bukan pemilik wau-wau, yang hasilnya dimuat di harian Die Welt & Morgenpost.
Hasil penelitian itu menyebutkan :

- perempuan lebih suka "merayu" wau-waunya daripada pasangannya. Untuk lelaki yang mendengar ini pasti merasa tidak enak. Masa sih level wau-wau lebih tinggi dari dirinya (pasti dalam hati mereka bertanya-tanya, "masih kurang keren atau gantengkah saya?"). Tapi untuk saya ini tidak aneh, karena saya sering melihatnya langsung, baik di restaurant, bus, jalan atau tempat lainnya, bagaimana si pemilik (wanita) menganggap wau-wau itu manusia & mengerti bahasanya. Kata-kata seperti, "Schatz, komme hier! ( sayang, datanglah ke sini), 'du bist so süß... & brav' (kamu manis sekali deh...& juga baik) & masih banyak lagi kata-kata lainnya, yang bikin kepala saya geleng-geleng secara otomatis.  Sejak kapan wau-wau mengerti bahasa manusia & begitu juga sebaliknya?
Bicara atau curhat dengan wau-wau bisa kapan aja, walaupun nggak nyambung. Nggak pernah dapat kritikan, cacian, pokoknya bicara jalan terus. Dan itu yang dibutuhkan sebagian perempuan, mencari lawan bicara yang mau mendengarkan & nggak pernah membantah. Kalau lawan bicaranya nggak ngerti, nggak jadi masalah. Malahan lebih bagus lagi. Makanya nggak aneh juga kalau wanita ini dalam berbicara (dengan manusia) kalimatnya sering nggak benar. Kebiasaan ngomong dengan wau-waunya. Seandainya saya bilang 'schatz' (sayang) ke kucing tetangga, bisa-bisa saya dibilang gila sama suami atau salah makan.

-pemilik perempuan (55%) menghabiskan waktunya setiap hari selama 30 menit untuk mengelus wau-waunya, sedangkan pemilik laki-laki hanya 40%. Jadi bisa dibilang perempuan lebih suka mengelus-elus wau-waunya daripada mengelus pasangannya. (Mungkin pasangannya kurang bulu ya, makanya kurang enak dielus). Kalau mengelus wau-wau kan nggak perlu lihat moodnya, beda mengelus pasangannya. Nggak bisa semau gue. Bukannya dapat pujian & manjaan, bisa-bisa omelan atau pasangan malah nyingkir, sebab lagi nggak mau diganggu. Bisa juga karena perempuan itu saking multi taskingnya, makanya tangannya nggak pernah diam. Satu tangan (bisa juga dua-duanya) ngelus wau-wau, tangan lainnya memainkan iPhone atau mencet-mencet yang lain. Yang penting sibuk atau menyibukkan diri.
Akibat keseringan dielus, wau-waunya jadi lebih cepat kotor. Apalagi tangan masih belepotan makanan, langsung hinggap di badan wau-wau.

-laki-laki (39%) lebih sering menghabiskan waktunya setiap hari untuk merawat kebersihan badan wau-waunya, dibandingkan pemilik perempuan yang hanya 34%. Itu juga yang sering saya lihat. Pemilik laki-laki kebanyakan punya wau-wau dengan bulu yang bersih & terawat. Wau-waunya juga lebih 'teredukasi'. Nggak mengendus sana-sini atau berisik & agresif, seperti wau-wau yang pemiliknya wanita. Bisa jadi karena lelaki itu sejatinya adalah pemburu, maka dengan binatang lebih banyak mengerti & tahu bagaimana memperlakukannya, karena insting alamnya sudah demikian. Nggak kebayang, kalau laki-laki punya wau-wau berisik yang diajak untuk berburu. Bisa-bisa pulang hanya dengan tangan hampa atau si pemburu malah jadi korban buruannya.

-lebih banyak perempuan punya wau-wau dibanding laki-laki. 73% perempuan (laki-laki 67%) menyatakan, wau -wau ada untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil dalam hidup. Saya mengerti kalau si pemilik cacat badan, spt.buta, lumpuh atau lainnya, maka memerlukan wau-wau untuk meringankan tugasnya sehari-hari atau untuk jaga rumah. Bisa juga untuk pekerjaan, spt. polisi atau petugas di bandara, yang memerlukan wau-wau untuk mencegah penyelundupan narkoba atau barang lainnya. Atau orang yang hidup sendirian atau sakit psikis, yang membutuhkan 'teman'. Tapi kalau punya wau-wau hanya untuk mengikuti mode? Dan memperlakukannya seperti layaknya anak sendiri atau pasangan kita, bahkan lebih dari itu, saya hanya bisa geleng-geleng kepala, karena itu bukan dunia wanita yang ada di kepala saya.
Maaf, di sebuah cafe di Spreewald saya pernah melihat wanita yang selalu memainkan tangannya di kemaluan wau-wau, walaupun pasangannya duduk di sebelahnya. Saya merasa jijik & mual jadinya. Dan saya tidak mau tahu, berapa banyak wanita yang berprilaku demikian, kalau saya melihat kebanyakan mereka punya wau-wau besar-besar, walaupun tinggal di apartment kecil.

Dalam menjalani liburannya, perempuan juga nggak bisa lepas begitu saja pikirannya ke wau-waunya. Menurut hasil angket Skyscanner terhadap lebih dari 1.000 pemilik wau-wau (laki-laki & perempuan), 40% mengaku menelpon anggota keluarga atau teman dekatnya hanya untuk tanya kabar wau-waunya, 14% bicara langsung dengan si kaki 4 di telpon, 6% mengirimkannya kartu pos, 5% menuliskan namanya di kartu pos, 5% chatting lewat Skype, 2% mengamati videonya, 22% membawa fotonya & 3% membatalkan liburannya, karena nggak tega ninggalinnya. Yang paling parah 37% mengaku merasa kehilangan wau-waunya, daripada ke pasangannya (gila!). Ternyata perempuan lebih gampang meninggalkan pasangannya, daripada wau-waunya. (Bisa jadi mereka lebih dekat ke wau-waunya, sebab si belo ini nggak banyak tingkah & selalu nurut, dibandingkan pasangannya).
Sedangkan laki-laki, mereka merasa rindu terlebih dahulu ke pasangannya, baru ke si belo.

Hidup itu sudah sulit. Untuk apa mempersulitnya lagi dengan memelihara wau-wau, kalau kita sendiri tidak bisa mengedukasikannya dengan baik & memperhatikan kebersihan lingkungan di sekitarnya. Setiap orang lewat selalu digonggong (spt.wau-wau tetangga saya), menggigiti sandal atau sepatu tamu, selalu mencoba berontak, walaupun sudah diikat dengan tali, menyerang orang sembarangan, mengendus-endus makanan orang, dsb.nya. Kalau dibilang hanya untuk 'teman' agar tidak kesepian, tapi saya melihat masih banyak juga wanita yang memeliharanya, walaupun sudah punya keluarga yang komplit. Kesepian apa yang dimaksud? Atau jiwa mereka yang selalu merasa sepi?

Waktu saya anak, saya hidup di dalam keluarga yang akrab dengan binatang peliharaan, spt. ayam, burung, kucing, kelinci, ikan, kura-kura & bebek. Pokoknya seperti kebun binatang kecil. Sampai saat ini pun saya menyukai binatang peliharaan, seandainya punya. Tapi saya tidak akan pernah memanusiakan binatang & membinatangkan manusia, karena bagaimana pun dunia kita beda. Komunitas saya tidak bisa ditukar dengan komunitas binatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun