Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sehatkah Makanan Pedas?

17 September 2014   23:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:24 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Bagi penggemar pedas, rasa pedas ibaratnya sudah seperti obat-obatan yang membuat kita ketagihan. Tanpa rasa pedas makanan menjadi kurang 'menggigit' walaupun diolah segurih mungkin. Dan itu juga yang saya & suami rasakan setiap kali menyantap makanan Jerman. Kadang-kadang kita sampai harus membawa cabe rawit (hasil tanaman sendiri) dari rumah, jika kita mau makan di restaurant Jerman. Walaupun sebelum memesan makanan kita sudah bilang 'pedas sekali', tapi tetap saja hidangannya tidak bikin kita keringatan.

Kurang lebih 20 tahun lalu, ketika saya baru mengenal suami, kecintaan saya akan makanan pedas bisa dibilang sudah di luar takaran. Saya pernah makan super pedas, sampai-sampai telinga saya tidak berfungsi lagi begitu selesai makan. Hanya berdengung, bibir sudah seperti membesar & mati rasa, perut panas & air mata terus mengalir. Suami yang melihat saya menjadi panik & meminta saya untuk minum sebanyak-banyaknya. Setelah rasa nyeri itu menurun, suami menasehati saya untuk mengurangi (jangan) makan pedas, karena bisa menyebabkan kanker lambung. Antara percaya & tidak saya pun mulai mengurangi kegilaan saya akan pedas, karena saya tidak mau mengalami hal itu untuk kedua kalinya. Kapok.

Makanan pedas bisa datang dari berbagai bumbu yang dicampur ke dalamnya. Setiap bumbu menghasilkan zat yang berbeda, yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas. Di cabe (chilli) zat itu adalah Capsaicin, di lada: Piperin, di bawang putih: Allcin, di jahe: Gingerol, di senf & merettich: Senföl. Zat-zat inilah yang bikin kita ketagihan, jika kita sudah merasakannya. Awal-awalnya memang nggak nyaman, tapi lama-kelamaan kita akan terbiasa. Mungkin nggak ubahnya dengan pecandu rokok. Saya pun tidak bisa lepas sama sekali dengan pedas, hanya takarannya sudah dikurangi. Apalagi saya punya suami yang juga suka pedas. Klop lah! Tapi benarkah makanan pedas itu punya reputasi buruk untuk kesehatan ?

Pembuat pedas (Scharfmacher) baik dari chilli atau lainnya bisa membangkitkan saraf-saraf & selaput lendir mulut yang bertanggung jawab untuk merasakan panas & rangsangan sakit. Pedas bukanlah suatu jenis rasa, seperti asin, manis, pahit, asam atau umami, melainkan suatu reaksi sakit, seperti yang dijelaskan oleh Dinas Pertanian & Pangan Baden-Württenberg. Dan pedas ini bisa diukur tingkatannya dengan menggunakan Satuan Scoville. Dari satuan ini bisa dirinci berapa banyak mililiter (ml) air yang dibutuhkan untuk mengencerkan konsentrat pedas, yang rasa pedasnya masih bisa dirasakan. Contoh: Habanero-Chilli mempunyai 100.000-500.000 Scoville, Bhut Jolokia (saya tanam di rumah) 1 juta Scoville & Capsaicin murni 16 juta Scoville.

Capsaicin merangsang terjadinya keringat & memasok rasa panas. Orang-orang di daerah panas (tropik) memanfaatkan efek ini, karena dengan berkeringat maka temperatur badan akan turun & badan akan mendingin. Mungkin juga itu alasan kenapa orang-orang di eropa kurang (tidak) menyukai pedas. Bisa kebayang, di musim dingin (winter) mereka makan pedas, bukannya badan menjadi lebih hangat, justru kebalikannya. Mereka mencari sesuatu yang efeknya bisa menghangatkan badan, tapi bukan mendinginkan. Di Meksiko & Thailand setiap hari mereka mengkonsumsi Capsaicinoide Chilli 25-200 miligram dalam makanannya. Sedangkan di Eropa Tengah hanya 1,5 miligram/hari. Berapa ya di Indonesia ? Alasan lainnya kenapa Chilli begitu terkenal di negara-negara panas, sebab Chilli bisa menghambat pertumbuhan mikro organisme dalam penyimpanan bahan makanan. Beda dengan di negara dingin, walaupun tanpa bantuan Chilli bahan makanan yang disimpan biasanya lebih bisa tahan lama, karena mikro organisme tumbuh lambat dibandingkan di negara tropik.

Makanan pedas pada dasarnya itu sehat, karena secara keseluruhan mempunyai aspek positif. Melalui rangsangan sakit yang disebabkan makanan pedas, maka akan membuka Endorphine & juga hormon-hormon yang menguntungkan. Menurut penelitian Capsaicin di buah Chilli mempunyai manfaat yang positif untuk hati. Selain itu menurunkan juga kadar kolesterin. Akibat pembesaran pembuluh-pembuluh darah, maka aliran darah akan menjadi lebih baik, yang juga menguntungkan selaput lendir mulut & kepekaan rasa akan menjadi lebih kuat. Pembuat pedas ini juga akan mengaktifkan pencernaan kita.

Biji chilli & makanan pedas tidak akan mengakibatkan rusaknya kesehatan kita, selama dikonsumsi dalam ukuran/takaran yang normal. Orang dewasa untuk setiap kali waktu makan max. boleh mengkonsumsi 1 dosis Capsaicin (5 miligram) per kilogram berat tubuhnya. Jadi kalau orang beratnya 50 kg., maka bisa mengkonsumsi 250 miligram Capsaicin setiap waktu makan. Kadang-kadang ada juga yang kuat mengkonsumsi melebihi takarannya. Yang penting kita tahu, di mana batasannya & harus perhatikan signal di badan kita.

Segala sesuatu yang digunakan secara over dosis pasti ada efek jeleknya, begitu juga dengan Capsaicin. Dosis yang tinggi bisa menyebabkan gangguan selaput lendir, mual, muntah atau tekanan darah yang tinggi. Untuk yang punya perut peka hendaknya berhati-hati dengan bumbu-bumbu pedas, karena bisa menyebabkan sakit perut, buang-buang air besar (diare) & rasa perih di perut. Oleh karena itu untuk anak sebaiknya jangan ambil makanan pedas atau produk-produk chilli, karena perutnya yang masih peka. Anak kecil (balita) hindari makanan pedas, karena bisa menyebabkan keracunan yang akut.

Jadi jangan takut untuk makan pedas selama kita tahu takarannya, karena banyak manfaatnya. Beda dengan rokok yang sama sekali tidak menguntungkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun