Beberapa hari yang lalu, tepatnya 5 Agustus, lampu lalu lintas (lalin) merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Usia yang jauh di atas rata-rata umur manusia. Usia boleh tua, tapi kerja harus jalan terus.
Hampir semua dari kita mengenal benda ini, yang biasa kita temukan di jalan-jalan yang dilewati kendaraan. Kadang kita berterimakasih dengan adanya lampu ini karena bisa mengurangi kecelakaan, tapi sering juga kita mengumpat karena bisa jadi lampu ini menyebabkan adanya kemacetan. Terutama jika warnanya, dari hijau ke merah, cepat sekali berganti. Baru 2 mobil yang lewat, sudah merah lagi.
Eksperimen pertama lampu ini dimulai tahun 1868 di London, sebelum ditemukannya mobil. Lentera gas ini hanya berganti warna antara merah & hijau. Hanya tiga minggu bertahan & kemudian meledak, yang melukai petugas polisi. Setelah itu, 46 tahun kemudian (1914) eksperimen berikutnya dilakukan di Cleveland, USA. Idenya datang dari beberapa orang, di antaranya Lester Wire, seorang polisi dari Salt Lake City & Garett Morgan, anak dari budak, yang juga telah menemukan berbagai benda, seperti masker gas & alat pelurus rambut. Baru pada tahun 1918 James Hoge mempatenkan lampu lalin Cleveland.
10 tahun kemudian (1924) lampu ini dipasang di Potsdamer Platz, Berlin, yang sampai saat ini masih ada, tetapi sudah dipensiunkan dari kerjanya. Kalau terus diaktifkan, bisa-bisa bikin pusing pengendara karena bentuk & pemasangannya yang aneh. Saya yang bekerja di tempat ini juga tidak menyadari kalau yang saya sering lihat itu adalah lampu lalin jadul.
Foto dok. pribadi
Merah, kuning & hijau merupakan warna internasional untuk lampu lalin di dunia. Artinya juga sama di mana-mana. Merah untuk berhenti. Kuning untuk hati-hati & hijau untuk jalan. Warna yang punya kekuatan besar untuk membuat kita patuh & mentaati perintahnya.
Asal mula warna-warna tersebut berasal dari jaman transportasi kereta di Inggris. Para pekerja rel membuat sinyal khusus untuk memperingatkan kereta akan bahaya di depannya. Warna hijau saat itu digunakan untuk tanda hati-hati, sedangkan tanda aman ditunjukkan dengan warna putih. Tetapi karena sering terjadi kecelakaan sebab masinis salah lihat pantulan cahaya bulan & bintang, makanya warna putih diganti dengan hijau & untuk hati-hati dipakai warna kuning.
Penggunaan warna-warna itu selain untuk lampu lalin, sering juga dipakai sebagai ungkapan dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, jika suami minta jatah & istri tidak siap untuk melayaninya, cukup bilang,"Maaasss....saya lagi dapat lampu merah". Tapi ini hanya bisa dipakai di Indonesia, kalau di Jerman para suami kagak ngerti. Jangan-jangan mereka pikir, istrinya mulai aneh, urusan tempat tidur kok dihubung-hubungkan dengan lampu merah.
'Bertangan hijau' atau di sini dibilang 'einen grünen Daumen haben' punya pengertian sama di Indonesia & di Jerman, yaitu orang yang mencintai & berbakat pada tanaman. Semua yang ditanam, pasti tumbuh dengan baik. Kalau semuanya ok atau berjalan normal, di sini kita bisa bilang," Alles ist im grünen Bereich". Apakah di Indonesia ada ungkapan yang menggunakan warna hijau untuk menyatakan maksud yang sama ?
Menurut Siemens, yang memproduksi lampu lalin di Jerman ada 1,5 juta lampu signal. Jumlahnya cenderung akan bertambah, sebab orang jerman suka sekali memasang lampu lalin di mana-mana, terutama kalau pernah terjadi kecelakaan di suatu jalan. Saya pernah melihat, walaupun jalan kecil seperti gang di indonesia, dipasangin juga lampu lalin. Belum lagi lampu lalin untuk pengendara sepeda.
Beberapa dari mereka biasanya sering tidak dihidupkan pada hari Minggu, sebab berkurangnya pengendara pada saat itu. Dengan semakin banyaknya lampu lalin, semakin banyak pula waktu kita yang terbuang di jalan. Itu pula salah satu alasan kenapa saya & suami hanya menggunakan mobil di akhir pekan saja untuk tujuan keluar Berlin.
Menurut Statistik di Jerman orang menghabiskan waktu 2 minggu dalam hidupnya hanya untuk menunggu di lampu merah. Untuk saya bisa jadi lamanya lebih dari itu, karena saya lebih sering dapat lampu merah daripada hijau. Jalan saya kalah cepat dengan orang Jerman. Terlebih lampu lalin di perempatan jalan besar dekat stasiun kereta, S Bahn, yang cepat sekali berganti warna. Sudah capek & perut lapar dari kerja, masih juga harus menunggu. Kadang-kadang menjengkelkan. Coba kita hitung, berapa waktu tunggu yang kita perlukan, jika kita melewati 1,5 juta lampu lalin sekaligus & setiap 1 menit ketemu lampu merah ? Jawabannya pasti cukup fantastis.
Banyak pengendara yang tidak suka kalau harus menunggu lama di lampu merah, tetapi tidak sedikit yang menyukainya, karena mereka masih bisa memanfaatkan waktu untuk 'kegiatan' lainnya. Dari angket yang diadakan 2 tahun lalu, 71% dari mereka mengakui, bahwa dalam waktu menunggu mereka pernah ngeseks minimum sekali. Orang Jerman memang benar-benar kreativ dalam memanfaatkan waktu. Gak kebayang kalau itu dilakukan di kota-kota besar di Indonesia yang terkenal akan kemacetannya.
Besar & kecilnya hukuman bagi pelanggar atau penerobos lampu merah di Jerman, tergantung dari sudah berapa lama lampu merah yang diterobos itu menyala. Kalau lampu itu baru menyala tidak lebih dari 1 detik & kita menerobosnya, kita membayar denda 90€, dapat 1point, tapi tidak ada larangan mengemudi.
Menerobos lampu merah yang sudah menyala lebih dari 1 detik, dikenakan denda 200€, dapat 2 point & 1 bulan tidak boleh menyupir. Tentu saja hukuman bisa lebih diperberat lagi, kalau tindakan kita sudah membahayakan orang lain. Lebih baik kita mematuhinya, karena nyawa kita & orang lain ada di tangan kita sendiri. Kecuali kita petugas polisi, supir ambulans atau pemadam kebakaran yang sedang berhadapan dengan situasi gawat, maka sah-sah saja menerobos lampu merah.
Lampu lalin, banyak yang mencaci-maki & mengumpat keberadaanmu. Tapi tanpa kalian juga tidak bisa. Selamat Ulang Tahun !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H