Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kematian yang Diinginkan

15 Oktober 2014   19:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:54 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setelah membaca berita "Derita Kanker Otak, Seorang Wanita AS Memilih Hari Kematiannya" di Kompas 9 Oktober 2014, saya jadi teringat cerita suami tentang saudaranya (kakak ipar saya) beberapa minggu yang lalu.
Brittany Maynard (29 thn.) yang menderita kanker otak & divonis hidupnya tinggal 6 bulan lagi, telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya (bunuh diri) dengan cara menenggak obat-obatannya secara over dosis pada 1 November nanti & ingin disaksikan keluarganya yang mengelilinginya di tempat tidur. Lalu apa hubungannya si Brittany dengan kakak ipar saya? Hubungan saudara jelas nggak ada, teman juga bukan, kenal aja nggak. Persamaannya karena keduanya sudah merencanakan kematian yang diinginkannya, walaupun kakak ipar saya masih segar-bugar & sehat. Aneh kedengarannya, tapi hal itu diperbolehkan di Jerman.

Setiap orang pasti berharap bisa menghabiskan masa tuanya dalam keadaan sehat & berada di tengah-tengah keluarga yang dicintainya. Hanya sayangnya keinginan kita semua tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Yang namanya penyakit tidak bisa diramal kapan datangnya, sama seperti dengan kematian. Kita sudah bersusah-payah untuk hidup sehat dengan memperhatikan makanan yang kita santap, rajin berolah-raga, nggak merokok & minum alkohol, eh....tiba-tiba kita kecelakaan & koma sampai berbulan-bulan. Atau kita didiagnosa dapat demenz, kanker, kelainan jantung atau penyakit menyeramkan lainnya. Masih untung kalau masih bisa disembuhkan, tapi bagaimana seandainya penyakit itu terus menggerogoti tubuh kita sampai akhirnya kita tidak berdaya sama sekali. Hidup tidak, mati pun tidak. Untuk si sakit juga tidak enak merasakan "hidup" seperti itu, apalagi untuk keluarga yang merawatnya. Harta, tenaga, pikiran, pekerjaan & waktu kita sudah dikorbankan untuk si sakit, belum lagi kesabaran kita yang terus-menerus diuji. Kalau rasa putus-asa sudah sampai puncaknya, tidak jarang kita pun berdoa agar si sakit lebih baik cepat "berpulang"untuk semuanya bisa lepas dari beban itu. Bahkan dari kita sampai ada yang punya niat untuk membunuhnya dengan meminta bantuan dokter atau dengan tangan kita sendiri.
Kadang-kadang adakalanya sebelum fase yang menyeramkan itu datang, jika si sakit punya keberanian & tidak takut/mengenal dosa akan melakukan tindakan bunuh diri, dengan alasan tidak ingin mengalami penderitaan berkepanjangan & merepotkan keluarganya, seperti yang dilakukan Gunter Sachs, (mantan suami Briggite Bardot) yang bunuh diri dengan menggunakan pistol (thn.2011), setelah didiagnosa menderita Alzheimer. Atau Hannelore Kohl (istri mantan Bundeskanzler Helmut Kohl) yang bunuh diri thn.2001 dengan meminum obatnya secara overdosis, setelah beberapa tahun lamanya mengidap penyakit 'Lichtallergie' (alergi cahaya), di mana dia harus menghabiskan hidupnya di tempat yang gelap.

Di Jerman seperti juga di Indonesia atau negara lainnya, siapapun yang membantu si pasien untuk cepat meninggal, tanpa adanya persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan, jika terbukti bisa dikenakan hukuman penjara. Walaupun pasien sudah sakit parah sekali & menginginkan kematiannya dipercepat, dokter tidak boleh begitu saja menuruti kemauan pasien, tanpa adanya persetujuan dari pihak keluarga yang bersangkutan. Atau sebaliknya, keluarga pasien menginginkan kematiannya tanpa persetujuan si sakit, dokter juga tidak boleh bertindak dalam hal ini. Karena masih ketatnya hukum tentang 'bantuan untuk cepat meninggal', maka tidak jarang pasien yang bersangkutan (dengan atau tanpa didampingi keluarganya) melakukan tindakan ini di negara tetangga Jerman, seperti Belanda, Belgia & Luxemburg, di mana hukumnya memperbolehkan para dokter membantu secara aktif agar pasien bisa cepat meninggal. Bantuan untuk cepat meninggal (Sterbehilfe) yang bersifat aktif atau sering disebut Euthanasie dilarang di Jerman. Hanya Sterbehilfe yang pasif yang diperbolehkan. Bagaimana caranya?

Berdasarkan Paragraf 1901a Bürgerliches Gesetzbuch, setiap orang dewasa memiliki kesempatan untuk memutuskan sebelumnya secara tertulis, seperti apa & bagaimana dokter akan merawatnya dalam situasi tertentu, yang semuanya akan dicatat dalam 'Patientenverfügung' (Keputusan Pasien). Patientenverfügung hanya berupa secarik kertas, tetapi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat antara pasien & keluarganya serta dokter yang akan merawatnya. Dan dianggap sah jika sudah dibubuhi tanda-tangan yang bersangkutan, pihak keluarga atau kerabat dekat lainnya & pengacara. Setiap 2 tahun sekali Patientenverfügung harus diperbaharui & disertai tanda-tangan yang bersangkutan.
Dengan berbekal secarik kertas itu, jika suatu waktu kita sakit keras atau kecelakaan & tidak bisa mengutarakan keinginan kita lagi untuk setuju atau menolak perawatan selanjutnya, maka dokter akan mengetahuinya & bertindak sesuai keinginan si pasien.
Tanpa Patientenfervügung akan sulit sekali mewujudkan keinginan pasien atau keluarganya, jika pengobatan & perawatan yang sedang berjalan, tiba-tiba mau dihentikan. Misalnya, kita berada dalam koma yang cukup lama & hanya hidup dengan banyaknya selang yang menancap di tubuh kita, baik itu untuk membantu pernafasan ataupun untuk masuknya makanan cair buatan. Karena berbagai alasan, akhirnya pihak keluarga meminta dokter untuk menghentikan hidup pasien. Dokter sudah pasti akan menolaknya. Kalaupun itu bisa dilakukan, proses ke arah itu akan panjang jalannya, karena pengadilan yang akan memutuskan.

Banyak orang Jerman yang memanfaatkan adanya Patientenverfügung, termasuk kakak ipar untuk persiapan agar dokter tidak bisa memaksakan kehendaknya terus dalam upaya penyembuhan, walaupun si pasien sudah tidak ingin hidup lagi. Pasien bisa menolak bantuan yang berupa: makanan cair buatan, pernafasan buatan (intubation), obat-obatan, Dialyse (cuci darah), Reanimation (tindakan menghidupkan pasien setelah tugas jantung berhenti), operasi otak.
Penjelasan lengkap tentang situasinya harus ditulis si calon pasien di dalam Patientenverfügung, mis. "Jika saya merasakan semua kemungkinan yang tidak bisa dihindari dalam proses kematian yang sedang berlangsung, maka saya......". Tidak cukup hanya menuliskan "Saya tidak mau dioperasi" (mis.). Di dalamnya bisa juga dicantumkan tempat untuk meninggal & orang-orang yang mengantarnya.
Untuk membatalkan Patientenverfügung yang telah dibuat, tidak harus dilakukan secara tertulis. Bisa dengan lisan atau gerakan badan, seandainya pasien sudah tidak bisa bicara lagi

Sewaktu suami berbicara ke saya tentang kakaknya yang telah menandatangani Patientenverfügung, pikiran saya jadi terbelah dua. Saya yang dilahirkan dalam keluarga beragama, rasanya masih belum bisa menerima sepenuhnya keinginan 'bunuh diri' yang sudah direncanakan & dipersiapkan ini. Bukankah harapan untuk sembuh itu selalu ada? Dan kita harus berjuang untuk itu & tidak menyerah begitu saja. Di sisi lain saya pun bisa merasakan, bagaimana tidak enaknya hidup dalam keadaan tersiksa seperti itu, baik untuk si sakit maupun keluarganya, tanpa tahu kapan penderitaan itu akan berakhir. Ibu saya pernah mengalami saat-saat seperti itu, sewaktu dia harus merawat bapak saya yang sakit parah selama 3 tahun, sementara adik saya sibuk dengan keluarganya & saya berada di negara lain. Yang saya takutkan waktu itu, seandainya ibu meninggal lebih dulu dari bapak, sebab sudah capek lahir-batin mengurusi bapak.
Atau saya menyaksikan sendiri, bagaimana teman dekat saya yang segar-bugar & tiba-tiba dapat stroke beberapa tahun lalu. Setelah dioperasi kondisinya hanya membaik sebentar. Setelah itu penyakit demenz menyerangnya. Pensiunan dokter yang cukup punya banyak uang, akhirnya harus menghabiskan masa tuanya di panti jompo, lupa akan orang-orang yang dikenalnya & meninggal belum lama ini tanpa dikelilingi keluarganya. Istrinya meninggal 3 tahun lalu sebab serangan jantung, stress berat mengurusi suami. Semua hartanya habis tidak berbekas hanya untuk biaya pengobatan. Jika melihat penderitaan almarhum kedua teman saya ini & mendengar cerita ibu, maka saya pun bisa mengerti tindakan yang diambil kakak ipar. Sepertinya, dia sudah menyediakan payungnya sebelum hujan.

Sampai saat ini saya belum bisa memberikan jawaban, apakah saya akan setuju dengan keinginan suami untuk membuat Patietenverfügung untuk dirinya. Saya merasa belum siap menjadi Tuhan untuk suami sendiri, orang yang saya cintai. (Mudah-mudahan dia tidak membicarakan itu lagi).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun