[caption id="attachment_379990" align="aligncenter" width="624" caption="Bandara Internasional Soekarno Hatta (KOMPAS.com)"][/caption]
"Yuni, kamu tunggu di sini & perhatikan Handgepäck (bagasi jinjing) ini. Saya mau cari Trolley dulu," kata suami begitu kita menginjakan kaki di terminal domestik bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, dari penerbangan Denpasar, Bali.Belum sempat saya menjawab, dia sudah menghilang di antara kerumunan penumpang yang sepesawat dengan kita. Sambil menunggu koper-koper kita dikeluarkan dari pesawat, saya tengok kiri-kanan, barangkali aja ada Trolley nganggur yang terparkir.
Di belakang saya hanya terlihat tempat parkir Trolley yang kosong-melompong & 2 orang yang mendorong Trolley, entah dapat dari mana. Jarum jam menunjukkan pkl.19.30. Kerumunan penumpang mulai semakin besar, karena ada 2 pesawat lagi yang baru datang. Selang 5 menit suami datang tanpa Trolley & wajahnya mulai menunjukkan rasa tidak senang. Saya memintanya untuk menanyakan ke petugas bandara yang kebetulan berada tidak jauh dari kita. Jari tangan si petugas menunjuk ke arah kiri & suami berjalan cepat ke arah tersebut. Tapi lagi-lagi dia kembali dengan tangan kosong. Dengan jengkel dia bilang,"saya tidak menemukan tempat Trolley, yang ada hanya toilet. Apakah petugas tidak mengerti apa yang saya bilang?" Saya yang dengar itu langsung ngakak, cari Trolley kok yang ditunjukkan malah toilet.
Suami menghilang lagi. Katanya Trolley harus ditemukan. Bukan watak orang Jerman, jika menghadapi sesuatu langsung menyerah begitu saja. Saya jadi ingat, ketika saya kopdar kedua kalinya dengan Mbakyu kita yang ramah banget, Ifani, di Bebek Tepi Sawah di Beach Walk Legian. Meja yang kita pilih goyang-goyang terus, entah kaki mejanya yang nggak sama tinggi atau lantainya yang nggak rata. Si pelayan meminta kita untuk pindah ke meja lain aja, tapi suami justru mencoba memperbaiki meja tersebut agar bisa berdiri dengan stabil. Ganjal sini, ganjal sana tetap aja goyang. Saya yang melihatnya aja sudah nggak sabaran, tapi suami masih mencobanya terus. Akhirnya hasilnya memang jadi lebih baik & meja berkurang goyangnya. Pindah? Nggak lah yaauu... Kondisi meja nggak mempengaruhi obrolan kita yang semakin seru, apalagi Mbak Ifani bisa nyambung ke semua hal yang dibicarakan. Nggak sering ada orang yang seperti ini. Acung jempol deh untuk Mbak kita ini.
Kembali ke bandara. Dari kejauhan saya melihat suami mendorong Trolley. Begitu sampai, dia menceritakan, bahwa dia hampir saja tidak diperbolehkan masuk kembali ke dalam oleh petugas, karena dia ngambil Trolley yang ada di luar pintu masuk. (Jangan mencontoh perbuatan suami saya!). Dia sudah mencarinya ke semua tempat, tapi tidak menemukan. Justru Trolley banyak berada di luar, yang jaraknya hanya 5 m dari pintu masuk. Setelah berdiskusi dengan petugas, akhirnya dia diijinkan untuk masuk kembali. Mungkin petugas merasa bersalah atau malu dengan ucapan suami, yang mengatakan belum pernah melihat bandara yang tidak ada Trolleynya. Nah lho... kena sodok langsung.
Sebenarnya bisa saja kita menggeret koper sampai ke halte bus atau taxi seperti yang kita lakukan beberapa tahun lalu, karena tidak ada Trolley. Tapi kalau perbuatan mereka didiamkan terus, kapan akan berubahnya? Lagian nggak semua penumpang punya cukup tenaga untuk menyeret-nyeret kopernya sampai pintu luar, apalagi koper yang segede gaban & berat.
Mengaca dari pengalaman kita beberapa tahun lalu di bandara ini, di mana kita pernah memakai shuttle bus untuk ke terminal internasional & harus menaikkan koper sendiri ke dalam bus tanpa ada yang bantu, walaupun ada petugas bus. Sudah begitu dari belakang masih juga didorong-dorong penumpang yang berebut untuk bisa cepat masuk bus. Bukannya bisa relax, malahan kita stress di dalamnya. Berhimpitan seperti ikan teri. Mana busnya kecil lagi.
Makanya kali ini kita ambil taxi. Supir minta 75 ribu rupiah tanpa argo. Kein Problem! Yang penting nyampe & nyaman taxinya.
Taxi melaju seperti semut di kemacetan yang parah sekali. Kata supirnya karena ada pelebaran bandara. Baru berjalan beberapa meter, taxi tiba-tiba mogok. Berkali-kali supir menghidupkan mesin, tetap aja nggak jalan. Katanya sih, mesinnya terlalu panas, jadi taxinya ngadat. Suami tidak percaya dengan alasan itu, karena waktu taxi mulai jalan, dia melihat tanda bensin (Tankreserve-Anzeige) sudah menunjukkan merah. Saya yang nyeletuk ke supir memberitahukan itu, malah nggak digubris sama sekali.
Dicoba berkali-kali menghidupkan mesin, tetap aja gagal. Gimana mau hidup, kalau bensinnya habis. Terpaksa supir mendorongnya sambil satu tangan memegang kemudi. Kita tetap duduk di dalam. Giliran melewati gerbang pembayaran kendaraan untuk keluar dari domestik, supir ribut dengan petugas wanita di sana, karena dia bayar kurang. Katanya yang supir ambil itu jalur bus, jadi harus bayar 10 ribu, bukannya 5 ribu. Ngototnya si supir, rupanya nggak bantu. Dengan wajah kesal, diberikannya uang kekurangannya.
Dorong, dorong & dorong sampai akhirnya si supir menemukan tempat untuk memarkir kendaraannnya. Di sana kita melihat ada 2 taxi yang masih berisi penumpang lagi terparkir & 2 supirnya lagi perang mulut. Dari dalam mobil, saya masih bisa mendengar, bahwa salah satu dari supir itu telah menyebabkan kerusakan di taxi mereka.
Karena mata saya masih terfokus dengan keributan itu, makanya saya diamkan aja kelakuan si supir yang mengeluarkan semua koper kita dari bagasi tanpa tanya terlebih dulu. Mungkin dia mau memperbaiki mobilnya. Toh kita masih cukup waktu untuk nunggu penerbangan berikutnya, pikir saya. Nggak taunya, tanpa rasa bersalah dia minta kita untuk cari taxi lain atau kembali aja ke terminal semula, di mana taxi banyak ngumpul sambil tangannya menunjuk jalan yang harus kita lewati. Hanya 2 kali dia mencoba untuk menyetop bus yang lewat, agar mau membawa kita. Tapi usahanya nggak berhasil. Saya yang memintanya untuk menelpon taxi lain, nggak ditanggapi.
Ini nih...tipe orang yang mentalnya harus direvolusi. Sudah salah, nggak minta maaf, malah tega membiarkan penumpangnya kesusahan sendirian. Kalau sudah tahu bensin mau habis, mbok ya jangan terima penumpang. Jangan hanya mikir ngejar setoran, tapi service yang diberikan dikesampingkan.
Saya lihat muka suami sudah seperti kepiting rebus, tanda amarahnya sudah diubun-ubun. Dengan menahan emosi, malu & rasa jengkel yang nggak karuan, kita menyeret-nyeret koper melewati arus macet kendaraan di tengah gelapnya malam menuju gerbang pembayaran kendaraan yang tadi kita lewati. Di sana saya menjaga koper & suami mencari taxi. Berpuluh-puluh pasang mata dari para pengendara menatap ke kita, seperti kita mahluk dari planet Mars. Katanya bangsa kita terkenal akan keramah-tamahannya, tapi kita kok nggak merasakannya saat itu. Atau mereka semua sudah tertular virus yang menjangkiti kehidupan orang-orang di kota metropolitan?
Beberapa kali saya melihat suami melewati arus kendaraan yang bergerak, sambil tangannya memberi tanda ke setiap taxi yang dilihatnya. Untungnya nggak lama kemudian, dia mendapatkan taxi yang membawa kita menuju terminal internasional.