Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskriminasi atau Hanya Mencari Keuntungan?

3 Juli 2014   21:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:36 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 26 Juni 2014, hampir semua harian online di jerman (focus, spiegel, n-tv, wdr, faz, n24, dll) ramai memberitakan tentang diskriminasi yang dilakukan perusahaan penerbangan terbesar jerman Lufthansa terhadap seorang wanita yang melamar untuk mengikuti pendidikan pilot. Pemberitaannya pun tidak cukup hanya sehari. Masalah diskriminasi & emansipasi bisa dibilang masalah yang sensitif di jerman, apalagi kalau 'korban'nya adalah wanita.

Sebelum saya bercerita lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui lebih dulu apa itu diskriminasi. Menurut Wikipedia, diskriminasi itu merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu-individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu-individu tersebut. Dan ini bisa dijumpai dalam masyarakat manusia, karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan satu dengan lainnya.

Tahun lalu (November 2013) seorang wanita muda (Alina S.), umur 19 tahun & tinggi badan 161,5 cm mengajukan gugatan ke pengadilan Köln kepada Lufthansa AG, karena merasakan adanya diskriminasi  yang menimpa dirinya. Alina pernah melamar untuk mengikuti pendidikan pilot. Semua test sudah dijalaninya & berhasil ( hanya tidak dijelaskan bagaimana & seperti apa test itu). Tetapi setelah itu kontrak untuk mengikuti pendidikan pilot tidak diterimanya. Alasan Lufthansa ( LH) menolak Alina, karena tinggi badannya tidak memenuhi persyaaratan. Adapun ketentuan yang berlaku di LH untuk mengikuti pendidikan itu, tinggi badan tidak boleh kurang dari 165 cm & tidak boleh lebih dari 196 cm. Seperti itu tinggi Alina jelas tidak cukup, karena masih kurang 3,5 cm. Dan demi keamanan terbang, LH tidak bisa menerimanya. Mungkin karena kecewa impiannya tidak terwujud, jalur hukumlah yang ditempuhnya.

Pengacara yang mendampinginya pada saat itu (di pengadilan tingkat I) berpendapat, bahwa perlakukan yang diterima Alina adalah diskriminasi. Argumentasinya adalah:  dari statistik, 40% wanita di atas usia 20 thn. tingginya kurang dari 165 cm, sedangkan untuk pria dengan usia yang sama hanya 4%.  Jadi lowongan itu jelas hanya tersedia sedikit untuk wanita. Pernyataan pengacaranya juga diperkuat dengan keputusan hakim, bahwa tindakan LH adalah tindakan diskriminasi. Tetapi LH tidak bisa dihukum sebab itu. Hakim beralasan, karena tinggi badan minimum sudah ditentukan sebelumnya. Dan LH tidak bertindak dengan tanpa alasan atau kecerobohan. Hakim kemudian mengajukan kompromi untuk jalan keluarnya, agar LH membayar 10 ribu € ke Alina agar masalah selesai. Alina sudah setuju, tapi LH menolak. Alasannya, perdamaiaan hukum tidak bisa tercapai hanya dengan uang. Bagi LH bukan masalah uangnya, tapi penegakan hukumnya.

Karena ke dua pihak tidak merasa puas, maka proses dilanjutkan ke pengadilan tingkat II. Di tingkatan ini Alina menuntut LH sebesar 135 ribu sebagai ganti rugi. (Kalau di pengadilan ada tingkatannya, maka tuntutan saya juga harus meningkat, mungkin begitu pikir Alina). Akhirnya pada 26 Juni 2014 keluarlah keputusan Ketua Hakim Landesarbeitsgericht Köln, Jochen Sievers, yang mengulangi & membenarkan keputusan hakim sebelumnya, bahwa Alina didiskriminasikan dengan peraturan tersebut (Aktenzeichen 5 Sa 75/14). Tetapi utuk ganti rugi materi (135 ribu €) yang dituntut Alina, hakim menolaknya. Alasan Alina tidak cukup kuat secara hukum, karena Alina tidak mengalami penderitaan apapun, apalagi sampai mengalami kekerasan fisik. Hakim hanya mengusulkan, agar LH meninjau kembali peraturan itu. "Kalau perusahaan penerbangan lain, mis. KLM & Swiss Air, melihat alasan itu (tinggi badan) tidak berbahaya, maka patut dipertanyakan, kenapa LH seperti tiu", hakim menekanan kembali pernyataannya.

Juru bicara LH, Michael Lamberty, menjelaskan, bahwa tinggi 165 cm tidak ditetapkan secara sembarangan. Mereka sudah melakukan test bertahun-tahun sebelumnya di sekolah penerbangan LH di Phoenix, USA, untuk tahu berapa tinggi pilot yang ideal. Oleh karena itu pesawat LH juga sudah disesuaikan ukurannya. Di dalam cockpit, jika pilot berada dalam situasi gawat, dia harus bisa meraih semua tombol & tuas dengan cepat. Untuk mengeluarkan roda pendaratan, pilot harus bisa menjangkau bagian di sisi lain dari instrumen tersebut. Dan dalam 'Overhead Panel' banyak tombol yang dipasang di atas ruangan cockpit, yang salah satunya untuk memadamkan api. Untuk semua pilot bisa menanganinya dengan baik, ada satu koridor besar yang ukurannya sudah disesuaikan untuk pilot yang tingginya tidak boleh kurang dari 165 cm & tidak lebih dari 196 cm. Untuk pramugari/pramugara juga sudah ada ketentuannya. Tinggi min. 160 cm untuk mereka bisa menjangkau bagasi di atas tempat duduk penumpang. Setelah pelamar lulus test tahapan kedua, terakhir akan dicek kesehatannya. Semua data, seperti tinggi badan, sudah ditanyakan ke pelamar sewaktu mereka registrasi online. Hanya kenapa Alina bisa lolos, itu yang masih belum jelas. Di Swiss Air (anak dari LH) memang mendidik pilot dengan tinggi 160 cm, karena mereka memiliki sekolah & pesawat penumpang yang beda. Pesawat besar seperti LH tidak dioperasikan.

Dua kali Alina kalah proses di pengadilan. Oleh karena itu dia harus membayar biaya pengadilan. Merasa tidak puas, Alina memutuskan untuk naik banding.

Selama 30 tahun saya pernah tinggal di Indonesia & hampir 15 tahun hidup di sini, belum pernah mengalami yang namanya diskriminasi. Atau memang saya yang kurang 'peka & sensitif' terhadap kejadian yang saya alami. Jika saya ingin melakukan sesuatu, biasanya saya sudah pikirkan dengan matang untung-ruginya. Saya tidak akan menerobos tembok yang ada di depan mata saya & menyalahkan si pembuat tembok itu. Dari kasus di atas, saya melihat ada yang aneh, baik itu dari keputusan pengadilan maupun tuntutan Alina.

1. Setiap perusahaan itu berhak untuk menentukan persyaratan yang diminta untuk setiap pelamar pekerjaan. Tujuannya tentu saja untuk kebaikan perusahaan itu sendiri. Siapa sih yang mau perusahaannya bangkrut, hanya karena menjaring pegawainya dengan asal-asalan, dalam arti tidak memenuhi kriteria yang diminta.

2. Jika kita mau melamar pekerjaan, tentunya kita sudah membaca semua persyaratan yang diminta. Kalau sudah dicantumkan mis. umur max...., pendidikan max..., tinggi/berat badan..., menguasai bahasa....dengan fasih. Pikirkan 2 kali sebelum lamaran dikirim. Semua ini tidak bisa dimanipulasi, apalagi kalau sudah tahap wawancara & pengukuran fisik. Contoh: saya yang tingginya hampir 164 cm tidak akan melamar kerja kalau tinggi yang diminta lebih dari itu. Dengan apa saya harus menambahkan tinggi badan ? Kita sendiri harus tahu diri !

3. Jangan langsung mengatakan kita 'didiskriminasikan' sebab lamaran kita ditolak. Kalau kriteria yang diminta perusahaan tidak dipenuhi, ya kita terima saja. Pelamar lain yang mengalami nasib sama juga banyak. Kita harus sadar, bahwa perusahaan yang akan kita lamar, itu bukan milik kita. Tidak pantas ngotot, bahkan sampai bikin proses di pengadilan. Bagaimana seandainya kita pemilik perusahaan itu & ada pelamar melakukan tindakan yang sama ? Senangkah kita ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun