Hiduplah dengan jujur & jangan suka bohong, itulah pesan orang tua saya ke anak-anaknya. Jangan suka bohong, itu berarti saya masih boleh bohong, asal tidak terlalu sering, pikir saya . Berapa kali saya boleh bohong dalam sehari? 2-3 kali, seperti saya makan dalam sehari atau boleh lebih dari itu. Atau lebih baik saya tidak bohong sama sekali, tapi sanggupkah?
"Bohong itu sudah menjadi bagian tingkah-laku manusia yang normal. Tidak ada manusia yang di dalam hidupnya tidak pernah bohong", itu yang dikatakan Harald Freyberger, kepala Klinik untuk Psikiatri & Psikoterapi di Universitas Greifswald. Dan itu benar adanya. Orang yang mengaku tidak pernah bohong, justru dirinyalah pembohong yang paling besar, menurut saya.
Bohong tidaklah selalu salah. Bahkan kadang-kadang bohong kecil bisa membantu hubungan kita ke orang lain menjadi lebih baik & stabil. Contohnya, jika kita dihidangkan makanan & setelah disantap, si pembuatnya menanyakan kita, bagaimana rasa makanan itu. Untuk tidak menyinggung perasaannya atau ingin menghargai jerih-payah pembuatnya, tentu kita akan bilang 'enak', walaupun rasanya tidak karuan. Atau selesai berdandan, kita minta pendapat suami tentang penampilan kita. Untuk membuat istrinya senang atau menghindari adanya keributan, suami akan menjawab 'bagus, sudah oke semuanya', walaupun jawabannya mungkin beda dengan hati nuraninya. Atau ketika kita mendampingi teman atau anggota keluarga yang menderita sakit yang sudah parah, tentu kita akan mengatakannya, bahwa dia akan sembuh. Walaupun umurnya tinggal beberapa hari lagi.
Kebohongan-kebohongan seperti itu seringkali tidak bisa kita hindari di dalam kehidupan bermasyarakat, karena kita masih menjunjung nilai kesopanan yang berlaku. Seandainya kita bicara yang jujur, bisa-bisa kita dibilang, orang tidak berpendidikan, tidak ada etika, kampungan, dsb.nya. Jadi kejujuran tidak selalu bisa diterapkan di segala hal.
Berapa sering & tidak malunya kita berbohong lebih besar dipengaruhi oleh faktor keluarga, teman, rekan kerja & teman kuliah. Anak-anak yang hidup di keluarga yang sering bohong, akan mempunyai rasa percaya diri & harga diri yang rendah atau tidak ada sama-sekali, jika sudah saatnya mereka harus terjun ke masyarakat. Mereka malu untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya, tanpa harus berbohong. Bisa jadi mereka akhirnya terperangkap ke dalam penyakit Pseudologia Phantasica, yang selalu mengarang cerita yang bagus-bagus untuk menaikkan citra dirinya alias pencitraan. Menipu & memperdayakan orang lain tanpa takut rasa bersalah, karena kurangnya norma-norma & nilai-nilai kemasyarakatan yang dimilikinya.
Waktu saya di SMA pernah diajak bolos teman, karena salah satu guru ada yang tidak bisa hadir. Awalnya saya menolak, sebab saya takut ada orang yang melihat saya & melaporkannya ke orang tua. Tapi karena dibujuk-bujuk terus, akhirnya saya ikut. Kami bertujuh keluar kelas untuk pergi ke danau. (Waktu itu di Jakarta Utara masih ada beberapa danau kecil & di sekitarnya belum ada bangunan liar). Saya tidak tahu kalau danau itu letaknya dekat KODIM, tempat bapak saya kerja. Akhirnya bapak melihat saya & menanyakan apakah saya libur. Terpaksa saya berbohong. Kalau tidak, pasti saya diminta untuk kembali ke sekolah.
Rasa bersalah terus menghantui saya, karena bohong itu. Setelah bapak makan malam & istirahat, baru saya mengatakan yang sebenarnya. Herannya bapak nggak marah. Dia hanya mengatakan, bahwa dia sudah mengetahui perbuatan saya sebelum saya menjelaskannya. Dan hukumannya sudah saya rasakan sendiri, yaitu dihantui rasa bersalah. Makanya bapak tidak mau memberi hukuman lain. Rasa bersalah itu adalah hukuman yang paling tidak enak & menyiksa, jika kita melakukan kebohongan, menurut saya. Batin kita seperti dipenjara.
Mulai umur 5 tahun anak sudah mulai bisa bohong (katanya lho), makanya para orang tua lebih memperhatikannya lagi & tidak begitu saja percaya dengan apa yang diucapkan si anak.
Orang-orang muda yang ambisius adalah orang yang sering juga melakukan kebohongan, dibandingkan orang yang sudah 'matang', karena mereka masih harus melewati banyak rintangan untuk mencapai tujuannya. Tidak perlu jauh-jauh melihat kehidupan para artis, coba tengok aja rekan kerja kita. Atmosfir kebohongan di tempat kerja tercium jelas sekali. Persaingan & rasa iri membuat mereka sering melakukan kebohongan, dengan tujuan tercapainya keinginan mereka, yaitu posisi yang lebih tinggi. Bahkan kadang-kadang kebohongan mereka sulit untuk dibuktikannya. Sepertinya kebohongan di dunia kerja sudah menjadi hal yang biasa dilakukan. Bahkan ada yang karirnya berjalan mulus terus, walaupun jalan yang ditempuh tidaklah bersih.
Seorang rekan kerja saya punya karakter seperti itu. Yang hidupnya tidak bisa lepas dari kebohongan. Bohong dengan kita & juga boss. Syukurnya, dia pindah ke cabang lain & kontrak kerjanya habis sampai Januari 2015.
Begitu juga dengan orang yang berpenghasilan tinggi, cenderung untuk bohong, menurut penelitian yang dilakukan Universitas California. Sama halnya dengan orang yang punya kekuasaan. Hal ini tampak jelas sekali terlihat di kehidupan para konglomerat & pejabat negara, baik di Indonesia, Jerman atau negara lainnya. Walaupun penghasilan mereka sudah lebih dari cukup, bahkan kadang-kadang sampai membuat kita ternganga, karena jumlah nolnya sudah tidak cukup lagi di kalkulator, tapi sepertinya kepuasaan belum juga ada. Mereka menempatkan keserakahan & egoismenya lebih tinggi nilainya, dibandingkan dengan kejujuran & norma yang berlaku. Akibatnya banyak dari mereka yang melakukan perbuatan yang merugikan orang banyak & menutupinya dengan kebohongan-kebohongan yang begitu rapih, karena mereka selalu takut untuk 'hidup kekurangan'. Ketamakan untuk memperkaya diri sendiri dijadikan 'nilai positif', makanya berbohonglah mereka tanpa mengenal malu & rasa bersalah. Identitas moralnya berada di standart yang rendah.
Berbohong sering juga dimotivasi oleh rasa egoisme kita. Kita pernah janjian dengan teman dari Jakarta untuk bertemu di Bali. Dan kita sudah sepakat untuk ketemu di cafe yang tidak jauh dari hotel kita. Setelah waktunya tiba, dia nggak datang. Alasannya dia nggak tahu cafe itu & memilih  untuk lihat sunset dengan teman di Uluwatu. Lebih baik bilang terus-terang sebelumnya, kalau emang nggak niatan (mau) ketemu kita, daripada bikin alasan yang nggak masuk akal. Legian-Uluwatu jaraknya cukup jauh, tapi dia bisa menjangkaunya. Cafe yang lokasinya persis di depan pantai Legian, dia nggak tahu? Semua supir taxi tahu dimana lokasi cafe itu, karena tidak jauh ada tempat mangkal taxi.
Atau daripada bilang "saya dipecat dari pekerjaan", orang lebih suka mengatakan "saya mengundurkan diri". Jelas kedua kalimat itu beda sekali artinya. Atau perkataan "saya tidak ada waktu" yang seringkali digunakan untuk berbohong.
Karena egois kita malu mengatakan yang sebenarnya.
Orang yang lagi jatuh cinta juga cenderung untuk bohong. Mereka melakukannya untuk memberi kesan positif kepada orang yang didekatinya. "Sayalah yang terbaik & hanya pantas untuk kamu". Karena keduanya lagi sama-sama buta, makanya sering nggak sadar kalau dibohongi.
Kelakuan ini nggak beda jauh dengan orang yang mau mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat. Segala janji diobralnya untuk dapat dukungan yang banyak dari pemilihnya. Kalau kita buta & memilih orang yang salah, yang merasakan akibatnya bukan hanya kita sendiri, tetapi orang yang  tidak menjadi simpatisannya ikut kena getahnya juga. Korban kebohongannya jauh lebih banyak daripada orang yang lagi jatuh cinta.
Dalam dunia tulis-menulis, kebohongan yang paling banyak dijumpai (50%) adalah tulisan di e-mail, fb, twitter, atau di media yang sejenis, menurut suatu penelitian. Hal itu disebabkan karena kita harus menulis sesuatu dengan cepat & mempostingnya, tanpa ada kesempatan untuk berpikir ulang. Beda dengan kita menulis surat di secarik kertas. Sebelum memposkannya, kita sudah membaca & mengoreksinya berkali-kali, hasilnya kebohongan akan bisa dikurangi atau dihindari.
Semakin kita memberi kesempatan otak kita untuk berpikir lebih lama lagi, maka akhirnya kebenaran yang akan tinggal. Jadi tidak ada salahnya, kalau kita memutuskan sesuatu hendaknya jangan terburu-buru untuk menghindari terjadinya kebohongan, kecuali kita dihadapkan pada persoalan yang genting sekali & membutuhkan jawaban yang cepat.
"Wenn alle Menschen immer die Wahrheit sagten, wäre das die Hölle auf Erden". (Jean Gabin). Bila semua manusia selalu berbicara dengan jujur, akan ada neraka di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H