Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pembuatan e-KTP & Kumpul Kebo

7 Desember 2014   22:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:51 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(S): saya tidak kumpul kebo. Saya menikah resmi dengan dihadiri orang tua saya. Walinya alm.bapak saya.
(Saya berdiri & berjalan menuju ke arah emak & suami. Saya ceritakan semuanya ke mereka, kecuali tuduhan kumpul kebo. Takutnya emak saya marah dengan petugas itu & saya gagal untuk bikin e-KTP. Kalau sudah emosi, emak lebih galak dari saya. Suami maunya kita kembali besok lagi, sambil bawa paspor & buku nikah yang disimpan di kopernya. Karena sering baca tentang razia di indonesia, setiap kali berlibur ke tanah air, buku nikah selalu dibawanya. Katanya untuk jaga-jaga aja.

Saya & emak kembali lagi menemui petugas itu.
E(emak): pak, anak saya hanya mau bikin e-KTP, kenapa kok ditanya-tanya surat nikah segala. Katanya cukup hanya bawa KTP lama. Kalau bapak mau bukti pernikahan anak saya, ikut kita aja langsung ke rumah. Bapak bisa tanyakan semua tetangga kiri-kanan.
Anak & menantu saya tidak punya waktu lama di Jakarta. Tolong jangan dipersulit.

Emak pergi ke luar ruangan, meninggalkan saya yang duduk terdiam di depan petugas. Percuma juga saya berdebat dengan orang yang nggak selevel, minjem istilah mbak Ifani.
Nggak lama kemudian, emak masuk dengan seorang petugas yang jauh lebih ramah. Dan mempersilahkan kita untuk masuk ke ruangannya. Di dalam ada 2 petugas bawahannya. Tanpa banyak komentar, dia meminta staffnya memulai prosedur pembuatan e-KTP saya. Foto & sidik jari sudah selesai. Eh....giliran tinggal tanda-tangan, alatnya rusak. Diutak-atik berapa kali, tetap nggak jalan. Dengan seijin petugas yang ramah tersebut, saya minta suami untuk bantu memperbaikinya. Barangkali bisa, daripada saya harus datang besok, hanya untuk tanda-tangan.

Karena alat masih nggak jalan juga, suami menyarankan mereka untuk menservisnya saat itu. Nggak apa-apa kita nunggu lebih lama, yang penting masalah e-KTP selesai dalam sehari. Setelah nunggu lagi setengah jam, petugas datang dengan alat yang sudah diservis. Saya tanda-tangan & selesailah proses pembuatan e-KTP. Selama e-KTP belum selesai dicetak, saya masih boleh memakai KTP lama. Kapan selesainya? Mereka juga nggak tahu.

Dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika saya bikin perpanjangan KTP, kinerja orang-orang kelurahan sudah menunjukkan perbaikan. Yang namanya uang siluman sudah tidak ada lagi & birokrasi yang macam-macam, seperti surat pengantar RT/RW, dll. tidak diperlukan lagi. Mereka juga ramah-ramah, kecuali petugas yang satu itu. Proses pembuatan e-KTP yang katanya hanya sehari, memang benar adanya. Tapi untuk e-KTP bisa sampai ke tangan kita, itu yang masih perlu waktu.

Sedangkan yang masih jadi hambatan/kekurangannya adalah, masih adanya orang-orang yang tidak kompeten untuk jabatan yang diembannya. Suka mempersulit & merasa dirinya tau lebih banyak, tapi pernyataan yang dikeluarkannya hanya bikin orang lain dongkol & sekaligus muak. Mengajukan pertanyaan yang nggak relevan sama sekali dengan tugasnya saat itu, bahkan sampai menyinggung ranah pribadi orang lain.
Selain itu beberapa petugas kelurahan saya lihat tidak ada kerjanya. Hanya baca koran atau memainkan smartphonenya. (Kalau saya melakukan itu di jam kerja, garansi saya bisa dipecat). Kalau mereka mau melakukannya, lakukanlah di waktu istirahat & beri tanda 'istirahat' di depan meja mereka. (Lebih baik lagi, kalau itu tidak dilakukan di depan orang-orang, yang lagi ngurus sesuatu di sana). Mereka digaji untuk kerja, bukannya untuk menyalurkan hobbynya.

Dari percakapan beberapa petugas di ruangan itu, akhirnya saya jadi tahu juga, kalau alat untuk tanda-tangan e-KTP itu bukan alat baru yang seharusnya diterima kelurahan, tapi hanya alat longsoran, alias bekas. Pantesan bermasalah, waktu mau digunakan.
Nggak aneh kalau KPK lagi membidik proyek sarana pengadaan e-KTP yang terindikasi adanya korupsi, sebab banyak bocornya.
Tolong donk KPK selidiki berapa banyak jumlah kelurahan di seluruh Indonesia yang menerima alat bekas, tapi dalam laporannya dicantumkan 'baru'!
Jangan sampai julukan "der Fisch stinkt vom Kopf"(ikan bau dari kepalanya) melekat terus untuk negara kita, karena korupsi yang sudah lama mengakar.

Semoga dengan pemerintahan yang baru, negara Indonesia yang kita impikan akan terwujud.

*Di Berlin setiap kali saya mendapat paspor baru, saya harus ke kantor polisi untuk memindahkan secarik kertas keterangan "unbefristete Aufenthaltsgenehmigung" (ijin tinggal permanen) yang dikeluarkan pemerintah jerman & melekat di paspor sebelumnya.
Prosesnya cepat sekali, karena petugas tinggal membuka semua data saya di komputernya & mencocokkannya dengan yang tertera di paspor. Dibuatnya keterangan baru & menempelkan foto saya, yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Tidak sampai 15 menit selesailah sudah. Paspor baru dengan 'keterangan yang sama'.
Nggak ada pertanyaan macam-macam, apalagi menjurus ke masalah pribadi. Profesional dalam bekerja & efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun