Foto: Der Tagesspiegel.
Di dalam U Bahn (kereta bawah tanah) suami memberitahukan, bahwa bayi orangutan telah lahir di Zoo (kebun binatang) Berlin. Karena saya duduk membelakangi TV, yang tergantung di atas, makanya nggak bisa baca berita apapun. Sudah untung masih dapat tempat duduk waktu itu he...he...
Sejak saat itulah saya jadi rajin mengikuti perkembangan si bayi, primata asal tanah air, yang kebetulan kita menjadi salah satu penyumbang tetap untuk kelangsungan hidup mereka di Indonesia.
Si bayi, yang diberi nama Rieke (namanya mengingatkan akan kolega saya, Ulrike), lahir 12 Januari 2015 dari induk Djasinga (11 tahun), dengan berat kurang dari 2 kilogram. Entah kenapa, setelah melahirkannya, si induk nggak mau mengasuhnya. Kejadian ini bukanlah suatu keanehan, karena di alam pun kadang-kadang hal ini bisa terjadi. Jangan lagi di dunia binatang, di dunia kita pun bisa demikian. Ibu menolak kehadiran anaknya.
Demi kelangsungan hidup Rieke, maka ditugaskanlah pengasuh hewan (Tierpfleger) Christian Aust untuk merawatnya dengan dibantu dokter hewan (Tierarzt) Andre Schüle. Pemberian susu buatan lewat botol adalah jalan satu-satunya agar si Rieke bisa bertahan hidup. Setiap menit, setiap jam perkembangan Rieke dipantau dengan teliti & cermat lewat kamera yang ditempatkan di ruangannya, tak ubahnya seperti merawat bayi manusia yang lahir prematur.
Perasaan saya seperti diaduk-aduk nggak karuan, melihat usaha mereka menyelamatkan hidup Rieke. Mau tidak mau saya jadi membandingkan kehidupan orang utan di sini dengan di habitat asalnya, Sumatra & Kalimantan. Jauh banget, seperti langit & bumi. Aduh... malunya kita.
Berita-berita tentang Rieke menghiasi koran-koran Jerman, mulai dari yang berskala besar & nasional seperti Tagespiegel, die Welt, FAZ, sampai koran-koran lokal misalnya Shz, NOZ (yang dari namanya aja saya belum pernah dengar, apalagi membacanya), begitu juga di Rundfunk (radio). Belum lagi koran-koran Berlin sendiri. Demam Rieke ini mengingatkan saya akan kepopuleran anak beruang es, Knut, yang mati beberapa tahun lalu. Nasibnya juga sama, ditolak induknya setelah dilahirkan.
"Berat Rieke sudah naik sekian gram". "Rieke sudah bisa memegang botolnya sendiri". " Rieke sudah bisa ini, bisa itu, dst..." Itulah berita yang sering saya baca di TV kereta, yang biasa saya tumpangi. Wajah-wajah pembacanya pun akan ikut tersenyum, melihat gambar Rieke yang lucu. Rieke telah menyita banyak perhatian orang di sini dengan keluguan wajahnya.
Pers telah menjadikannya 'bintang' & membawa kebahagiaan orang-orang yang melihat gambar-gambarnya. Secara tidak langsung Rieke ikut juga mempromosikan negara saya.
Sejak kelahirannya, banyak orang sudah menunggu penampilan Rieke secara langsung di Zoo Berlin. Mereka kurang puas kalau hanya disuguhi gambarnya aja. Mereka mau lebih, mau yang 'life', layaknya seorang (sebinatang?) bintang. Dan waktu untuk itu akhirnya pun tiba, setelah menunggu lebih dari 4 minggu. Ya... 22 Februari lalu adalah penampakan Rieke pertama & terakhir kalinya di depan pengunjung Zoo.
Affenhaus (rumah monyet) sudah dipadati pengunjung (kebanyakan orang tua & anaknya) layaknya pasar malam. Penuh sesak & dorong-mendorong. Ada yang anaknya sudah nyerobot duluan ke barisan depan, sementara ibunya tertinggal di belakang. Beberapa orang tua mendudukan anaknya di pundaknya, agar si anak bisa melihat Rieke dengan jelas (kalo anaknya berat, siap-siap cari tukang pijat setelah itu wwwkkk....). Ada juga orang tua yang kehilangan anaknya & mencari di antara kerumunan itu. Umpatan, teriakan & tangis anak-anak & bayi campur jadi satu.
Setiap gerakan yang dilakukan oleh Rieke dari balik kaca, tidak pernah lepas dari sorotan mata & kilatan lampu kamera pengunjung. Rieke tak ubahnya seperti magnet, yang menarik besi & logam di sekitarnya. Orang tua yang membawa bayi di kereta, sampe nggak nyadar, kalo bayinya itu sesungguhnya lebih menarik dari si Rieke wwwkkk.... Tidak tau berapa lama pertunjukkan Life si Rieke berlangsung saat itu, hanya jam 17.00 Zoo ditutup.
Sehari kemudian, tepatnya 23 Februari, Rieke meninggalkan kita semua, menuju rumah barunya di Ape Rescue Center, Monkey World (Dorset, London). Sebelum dia diberangkatkan, beberapa hari sebelumnya sudah datang pengasuh binatang dari Monkey World untuk mengenal & mempelajari dari dekat kehidupan Rieke, baik lewat video rekamannya maupun informasi langsung dari pengasuhnya.
Rieke akan dibawa dengan mobil khusus menempuh jarak 1.300 km. Selimut, mainan, botol susu, popok & perlengkapan lainnya diikut-sertakan, termasuk juga pengasuhnya, Christian Aust & dokternya, Andre Schüle. Berapa lama perjalanan yang akan ditempuh, belum bisa dipastikan, karena tergantung kondisi Rieke. Terpikir juga untuk memberangkatkannya dengan pesawat, hanya dikhawatirkan Rieke akan jadi gelisah (mungkin kurang rileks).
Di Monkey World dia akan ditempatkan bersama-sama dengan anak orang utan Sumatra, Bulu Mata (5 bulan), yang induknya mati setelah melahirkannya di Zoo Budapest (2014).
Diharapkan keduanya akan bisa berteman & bermain dengan baik, layaknya di TK. Dan juga tumbuh besar bersama-sama.
Pemindahan ini memang bukan tanpa alasan. Pengasuhnya di sini hanya bisa memberikan makanan & kehangatan, sementara bayi orang utan memerlukan lebih dari itu, perawatan & kasih sayang seperti layaknya yang mereka terima dari induknya (bayi orang utan sangat tergantung dengan induknya). Dan semua tugas ini belum bisa diambil-alih oleh pengasuhnya di sini.
Di Dorset ada teman-teman sejenis & induk-induk asuhnya. Mereka sudah dilatih untuk membawa (memomong) anak angkatnya, sebagaimana seorang 'ibu'. Rencananya Rieke akan diberikan ke induk (orang utan) asuh yang juga merawat Bulu Mata. (Sebelumnya orang utan betina ini sudah pernah mengadopsi anak orang utan yang berusia 3 tahun), Diharapkan dia akan mau mengasuh Rieke juga & mengajarinya untuk mengenal lingkungannya sendiri, tanpa banyak campur tangan manusia. Rieke harus bisa hidup sendiri sebagaimana di habitatnya. Rieke akan tinggal bersama 250 monyet lainnya, di antaranya 60 simpanse di areal seluas 25 hektar.
Rieke, menurut saya, adalah nama yang pas & indah untuk bayi orang utan ini. Nama yang tidak asing untuk orang Indonesia, begitu juga untuk orang Jerman. (Cukup banyak wanita Jerman yang bernama Rieke, sampe-sampe suami saya mengklaim, bahwa itu nama Jerman, sebab nggak ada wanita Indonesia yang bernama demikian, katanya wwwkkkk...). Nama yang menghubungkan dua kultur yang berbeda, yang membuka mata kita semua, bahwa masih ada cinta & perhatian yang tulus terhadap primata ini, yang di tempat asalnya hanya dilihat dengan sebelah mata, bahkan tidak jarang dengan kedua mata tertutup.
Tindakan orang Jerman dalam memperlakukan Rieke seperti tamparan keras di pipi kita, untuk kita segera bangun dari tidur panjang.Selamatkan 'harta' kita yang tidak ternilai ini! Bangunlah sebelum semuanya terlambat!
Beruntunglah Rieke-Rieke lain, yang lahir di negara-negara yang masyarakatnya masih punya 'rasa perikebinatangan' dibanding di tempat asalnya, yang untuk bisa bertahan hidup aja susahnya minta ampun.
Selamat jalan Rieke & semoga selamat sampai di tujuan. Namamu akan selalu terukir di hati orang-orang dari negara kamu dilahirkan. Dan semoga kita masih bisa sadar dengan apa yang telah kita perbuat dengan habitatnya.
Sumber:
-Tagesspiegel "Besucherandrang bei Orang Utan Baby Rieke, Affentheater im Berliner Zoo zum letzten Mal".
- Berliner Morgenpost " Auf nach England: Viele Berliner verabschieden sich von Orang Utan Baby Rieke".
- Beberapa harian online jerman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H