Hal tersebut dapat terlihat ketika orang berasal dari Lampung merantau ke luar Lampung atau sekedar pergi ke Jakarta, pertanyaan perkenalan rasanya sudah berubah. Dulu ketika orang Lampung bertemu dengan orang baru di Luar Lampung, yang ditanya mungkin berkaitan dengan gajah Way Kambas Lampung. Namun semakin ke sini, terlihat perubahan yang cukup mengecewakan. Pertanyaan perkenalannya akan berubah menjadi “Dari Lampung? Di sana banyak begal ya?”, “Wah, Lampung begal ya?” atau pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya.
Hal yang mungkin terjadi juga ketika orang luar Lampung berkenalan dengan orang berasal dari Lampung, mereka tidak akan menanyakan hal demikian. Tetapi dalam pemikiran (thought) mereka, hal pertama yang ada di benak orang Jakarta misalnya terhadap orang Lampung yaitu berasal dari daerah rawan begal. Awalnya mungkin mengagetkan mengetahui respons orang lain dalam memandang budaya etnis lain, namun perlahan-lahan akan mengerti tentang perspektif orang lain terhadap etnis kita. Permasalahan sebaliknya yang mungkin juga bisa terjadi ketika orang Sumatera berkomunikasi dengan orang Jawa. Di mana mereka pada awalnya akan melihat bahwa gaya bicara orang Sumatera yang keras seperti membentak, namun perlahan-lahan mereka akan mengerti bahwa memang seperti itulah budaya mereka.
Konflik (prasangka) dapat muncul ketika terdapat perbedaan yang tajam antara apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan yang orang lain pikirkan tentang diri kita. Perbedaan persepsi tersebut dapat menyebabkan kesalahpahaman (misscommunication) dalam proses komunikasi. Komunikasi yang seharusnya menghasilkan pemahaman bersama (mutual understanding) antara komunikator dan komunikan, justru sebaliknya menghasilkan kesalahpahaman, prasangka, konflik dan bahkan pertikaian.
Prasangka tersebut disebabkan oleh; (1) Kecenderungan berprasangka dengan orang yang bersaing dengan kita, apalagi ia berasal dari kelompok etnik lain; (2) Sikap etnosentrisme, yaitu cenderung mempengaruhi pandangan bahwa orang luar kelompok etnik lebih buruk dari orang dalam kelompok etnik; (3) Menilai orang yang tidak dikenal dengan stereotip, walaupun stereotip tersebut tidak sepenuhnya benar, namun tetap menjadi dasar penilaian yang mudah digunakan; (4) Cenderung menetapkan jarak sosial dan diskriminasi antara orang dalam dan luar etnik; (5) Menggeneralisasi kelompok lain berdasarkan pengalaman terhadap beberapa individu; (6) Tuntutan kemajuan pembangunan; misalnya modernisasi, pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut kualifikasi SDM yang profesional sehingga menggeser kelompok etnik tertentu.
Menurut Martin dan Nayakama (2008:92), identitas dapat berdasarkan gender, seks, usia, etnik dan ras, agama, klas sosial, dan sebagainya. Berbicara masalah etnik tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan masalah identitas, karena ientitas adalah konsep diri kita. Identitas dikembangkan melalui proses yang tidak mudah,tetapi melalui proses yang rumit dalam kurun waktu yang lama. Terkadang kita tidak sekedar memiliki satu identitas, tetapi multi identitas yang dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya secara dinamis. Peneliti rasa simbolik terhadap suatu etnis dan membentuk identitas inilah yang sesuai dengan pemikiran George Herbert Mead dalam Teori Interaksionisme Simbolik.
Blumer mengembangkan lebih lanjut gagasan Mead dengan mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksi simbolik, yaitu: (1) Konsep diri (self), memandang manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh stimulus, melainkan organisme yang sadar akan dirinya. (2) Konsep perbuatan (action), karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak makhluk selain manusia. (3) Konsep objek (object), memandang manusia hidup di tengah-tengah objek, (4) Konsep interaksi sosial (social interaction), interaksi berarti bahwa setiap peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain, mencoba memahami maksud orang lain. (5) Konsep tindakan bersama (joint action), artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta kemudian dicocokan dan disesuaikan satu sama lain.
Kesimpulan Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: (1) manusia bertindak berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka; (2) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain; (3) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.
Berangkat dari Teori Blumer tersebut, dapat kita komperhensifkan dengan fenomena Lampung yang identik dengan begalnya. Pada dasarnya memang terdapat konsep aksi yang dahulu dilakukan orang Lampung, yaitu aksi pembegalan itu sendiri. Lalu semakin ke sini, semakin marak juga kasus pembegalan di luar Lampung, khususnya Jakarta, yang para pelakunya mengaku berasal dari Lampung. Hal itulah yang menyebabkan stigma muncul bahwa begal berasal dari lampung.
Tentu saja hal ini tidak terlepas dari interaksi sosial yang terjadi di masyarakat. Terdapat kesepakatan dalam individu dan sosial yang didefinisikan melalui interaksi dengan orang lain. Tetapi yang menjadi permasalahannya, masih terdapat konsep diri dalam individu yang bertolak belakang dengan hasil meaning yang dibentuk. Untuk sebagian warga Lampung yang tidak pernah terlibat dalam aksi pembegalan, mungkin mereka akan merasa bahwa peran yang diberikan orang lain terhadapnya tidaklah tepat.
Pada dasarnya Indonesia memiliki keberagaman etnik yang unik. Pemahaman-pemahaman terhadap suatu etnik seperti sudah tumbuh sejak mereka berada dalam lingkungannya. Walaupun mereka diajarkan untuk merasa bangga menjadi anggota etnik suku tertentu, namun mereka juga ditanamkan untuk melihat perbedaan secara positif dan proposional pada etnik lainnya.