Sebagai catatan, artikel ini lebih cenderung dikategorikan sebagai artikel sains. Namun karena Kompasiana tidak menyediakan kategori tersebut, maka saya kategorikan sebagai 'Film'.
Walaupun tergolong dalam film yang sudah cukup lama, Interstellar yang rilis tahun 2014 masih menjadi salah satu film science fiction favorit saya sepanjang masa.
Bagaimana tidak, di saat film-film science fiction lainnya “hanya” mengandalkan imajinasi mereka tentang masa depan, Interstellar – selain menggunakan imajinasi – datang dengan aspek sains yang begitu berbeda dari film-film science fiction lainnya. Interstellar menggabungkan fiksi ilmiah dan fakta ilmiah dengan cukup brilian.
Mungkin, salah satu yang menjadi pusat perhatian paling besar dari film tersebut adalah Gargantua, sebuah lubang hitam supermasif yang menjadi kunci seluruh alur cerita film.
Sutradara Interstellar, Christopher Nolan, bekerjasama dengan seorang fisikawan yang berkutat dengan teori relativitas dan juga lubang hitam bernama Kip Thorne untuk membantunya membuat Interstellar seakurat mungkin dalam segi sains, termasuk Gargantua.
Memang seberapa akuratkah Gargantua secara ilmiah sehingga menjadi salah satu aspek yang dibanggakan Interstellar?
Persiapkan dirimu karena pembahasan berikut akan menjadi hal yang benar-benar menarik. Namun sebelumnya, mari memahami dahulu apakah lubang hitam itu dan dalam part 1 ini, saya hanya akan membahas mengenai lubang hitam secara umum terlebih dahulu. Pada part 2 baru akan saya bahas Gargantua secara lebih mendetail.
Bagaimana Lubang Hitam Terbentuk?
Untuk memahami Gargantua, mari kembali ke pertanyaan mendasar terlebih dahulu: bagaimana lubang hitam terbentuk? Massa bintang-bintang di alam semesta sangat bervariasi, ada yang lebih kecil dari Matahari dan ada pula yang ratusan kali lebih masif dari Matahari.
Massa bintang inilah yang menentukan takdir bintang tersebut; bagaimana bintang tersebut mati. Bintang-bintang masif (dalam astronomi, bintang masif adalah bintang yang memiliki massa lebih dari 10x massa Matahari) akan mati melalui ledakan yang dahsyat yang disebut supernova.
Setelah supernova, yang tersisa dari bintang hanyalah intinya yang sangat padat yang ukurannya setara dengan ukuran Kota Bandung. Jika massa inti tersebut kurang dari 3 kali massa Matahari, maka ia akan menjadi apa yang disebut bintang neutron.