Mohon tunggu...
Salim An
Salim An Mohon Tunggu... -

"Abdi Rakyat"

Selanjutnya

Tutup

Politik

2014: Titik Balik Pelurusan Arah

5 Januari 2014   05:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan diciptakanNya sistem pahala “amal jariyah”  dalam ibadah,

maka secara sosiologis  terciptalah prinsip bahwa

Kehidupan, baik perbaikan maupun penghancurannya  akan bermula

pada diri seseorang.

Cogito Ergo Sun: Saya berpikir maka saya ada, kataDescrates.

Tapi sebenarnya tak sekedar itu,

tapi juga karena Anda berpikir maka tercipatalah  di dunia ini

perbedaan-perbedaan yang bermanfaat.

Ingat listrik setiap terpelajar akan ingat penciptanya: Thomas Alva Edison. Ingat hukum gravitasi Anda ingat: Isaac Newton. Ingat Microsoft, Anda ingat Bill Gate. Ingat proklamasi 45 Anda ingat SoeKarno-Hatta, sang proklamator. Ingat Islam, Anda ingat Rasul Muhammad. Ingat pemerintahan tiran, fasis dan keji Anda ingat: Firaun, Hitler, Musoloni, Ingat Kapitalisme/Liberalisme Anda ingat Karl Mark. Nama-nama yang disebut di atas adalah nama-nama orang yang diakui sebagai “pemilik” jaman atau suatu masa atau suatu “kebesaran” pada suatu jaman tertentu dan itu bisa mencakup “masa hidup” seratus, seribu sampai jutaan tahun, dan dulunya, awal mulanya nama-nama tersebut di atas “bukanlah siapa-siapa” bahkan jadi ejekan, Muhammad awalnya jadi ejekan, disebut “penyihir” dan dilempari kotoran, kakak beradik penggagas pesawat terbang Orville Wright mulanya  ditertawakan, Thomas Alfa Edison sama juga, sampai mereka “membuktikan” kebenaran pikirannya.

Fenomena sosiologis ini mendapat keabsahannya, saat Allah merilis system pahala, dalam ibadah. Terutama yang berkaitan dengan “amal jariyah”, apapun yang Anda ciptakan, maka selama ciptaan Anda itu terus dipakai dan dinikmati kemanfatannya oleh masyarakat maka Anda berhak mendapatkan “pahala berkelanjutan”, seperti misalnya: membangun masjid (rumah ibadah), sekolah, jembatan, system cakar ayam (dalam teori konstruksi sipil), pesawat terbang, teknologi bebas grafitasi bumi, kereta api dan sebagainya. Begitu pun pemberian, sebagai pemindahan hak (sedekah) kepada orang lain yang (mengandung pengorbanan) dan berdampak memberi kesempatan kepada orang lain mencapai keadaan lebih baik, mendapatkan pahala 700 kali, lewat hadist, sedekah itu seumpama pemberian sebulir padi, dari sebulir itu tumbuh tujuh tangkai padi yang setiap tangkainya terdapat 100 bulir padi.

Jadi ada konsistensi, baik ayat kauniyah (hukum alam) maupun yang tertulis sebagai ayat tekstual hukum Al Quran, keduanya “nyambung” saling menjelaskan. Nabi Muhammad pun berkaitan dengan fenomena sempat bersaksi bahwa pertempuran yang lebih besar dari perang terberat (perang Badhar) adalah peperangan melawan diri sendiri, sebagai jihad akbar. Karena itulah manusia diberi status mulia sebagai kalifatullah fil ard (wakil allah di muka bumi), jadi telah menjadi takdir dalam kehidupan umat manusia ini bahwa berkait dengan perbaikan maupun penghancuran umat manusia sepenuhnya bermula dari diri Anda, baik diri yang sadar (tercerahkan) maupun diri yang terusakkan, sementara pada setiap diri, potensi sebagai pembaharu (Agent of Change) atau sebaliknya sebagai pembuat chaos, pada “segumpal daging” yaitu: kalbunya, oleh kalbu yang disinari tauhid yang lurus dan benar dan bersih dari segala kurafat dan kemusyrikan, pada kalbu bebas. Itu sebabnya, mengapa allah dalam hadist Qudsi berpesan: tidak muncukupiKU bumi dan LangitKu, tapi mencukupiKu hati hambaKu yang takwa dan beriman.

Jika Anda membaca ini, yakinlah bahwa Anda itulah pelopornya, insan yang akan membuat perubahan menuju kualitas bangsa yang lebih baik, karena syarat utama bagi perubahan sudah Anda miliki, yaitu “kesadaran”, realitasnya (menyangkut manusia) segala sesuatunya dimulai dari kesadaran (paradigma) dalam berpikir.

Ketika terjadi reformasi 1998 Anda dimana? Ribuan warga mengambil peran tanpa di perintah, dipelopori mahasiswa, dosen, rektor hingga Gubernur/Sri Sultan di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan di Jakarta sendiri, lebur dalam solidaritas dan “kesepahaman” untuk merebut moment perbaikan bangsa,  mereka tak mengkalkulasi untung rugi yang bersifat ego, kecuali para “penjarah” yang memanfaatkan situasi, baik penjarah di jalanan maupun penjarah di birokrasi dan partai politik yang bergabung untuk mendapatkan kesempatan memperoleh bagian, tanpa rasa malu, meski pun dirinya, merupakan bagian dari rezim korup yang akan dilengserkan dan “musang berbulu domba” itu masih bercokol hingga kini dalam format metamorfosa yang rumit dan canggih yang tak mudah dipahami oleh rakyat biasa.

Jadi, putuskan sekarang, marilah kita buat agenda.

Mulai dari kita masing-masing, mulai dari mushola rumah, mushola desa, sekolah untuk membentuk “jejaring” revolusi spiritual, justru karena kita sadar bahwa kita adalah bagian dari rakyat jelata yang tak memiliki senjata, uang, atau kekuasaan untuk mengatur militer, logistic perang, dan penyerbuan, tapi kita punya “sejengkal” wilayah kekuatan, yakni menciptakan moment agar seluruh kekuatan semesta alam beserta kita. Gunung, Sungai, laut, gempa dan badai yang dapat meciptakan “kelumpuhan sistemik” pada kekuatan bathil untuk tercerai berai di tengah puncak kekuatan teknologi pertahanannya. Mereka “dijinkan” untuk merancang semua kelebihan power tadi tapi Allah lebih maha pandai untuk “mempermalukan” kekuatan tiran semacam itu sebagai “nyamuk” yang sebenarnya hanya mimiliki “ritme” rasa hidup pendek, 9 hari. Itulah situasi “rasa hidup” yang sempit pada kaum ingkar yang bergantung pada berhala materialism dan kebohongan, sehingga nyaris  suasana “batiniah” mereka menjadi paranoid, tak bisa nyaman kalau tidak membunuh, mencuri kekayaan bangsa lain, dan pemimpin menipu rakyatnya sebagai ilusi menguasai keadaan, kehidupan batin penguasa ndolim ini, dilukiskan sebagai tenggelam dalam samudra gelap, diombang-ambingkan ombak, sehingga jika tangan mereka menggapai mata pun tak bisa melihat tangannya.

Sejarah telah membuktikan, Gempa bumi menghukum umat Nabi Luth dengan merekahkan tanahnya  bak mulut raksasa dan menelan hidup-hidup bangsa penyembah sahwat sesat (homo/lesbi) anggota DPR penuh skandal seks, gratifikasi, sandera menyandera dan persekongkolan merampok milik rakyatnya, mereka itulah calon mangsa burung ababil pembawa “batu api” neraka, seperti saat ababil yang sama meluluhlantakan pasukan gajahnya raja Habasyah yang akan menghancurkan ka’bah, bagi Allah, semua itu hanya “mainan” balita yang bisa disirnakan dalam hitungan detik, umat nabi Nuh ditenggelamkan oleh badai besar yang menyebabkan nusantara “terburai” jadi pulau-pulai NKRI seperti sekarang ini bagi jaman kini, kepulauan NKRI itu rakmat tapi pada masanya, “usus” yang terburai menjadi ribuan kepulauan itu adalah “hukuman” semesta karena kefasikan penghuninya.

Kita rakyat yang teraniaya dapat mendatangkan “hukuman” bagi para penguasa yang lalim seperti itu dari dalam rumah kita  sambil “menyehatkan diri” dalam tahajud dengan akhlak Daud, dengan “puasa Daud” dan doa-doa Daud,  sebagai basis sumbangsih individu, sementara dalam gerakkan kita mengadopsi pola perjuangan Rasul Muhammad, dengan fondasi dan sistimatika gerakkan yang diridhoi Allah sebagai “buku pintar” asali yang menjamin kita mencapai proses revolusi yang benar, bebas komplikasi, dan bebas dari ancaman pemboncengan elemen “musang berbulu domba” seperti yang terjadi pada reformasi 1998 yang menghasilkan potensi musnahnya NKRI dalam waktu yang tak terlalu lama akibat (amandemen UUD 45) yang kebablasen dan menyebabkan 82% kekayaan bumi tergadai ke tangan asing, dan akibat reformasi yang premature itu, alih-alih mendatangkan kesejahteraan rakyat tapi malah memberi kesempatan bagi Neo-orba terus bercokol menularkan sifat predatorynya yang ganas.

Naskah  Selengkapnya terdapat dalam

“BUKU DZIKIR DAUD  UNTUK MERUWAT KEPEMIMPINAN NASIONAL”

Penerbit : Leutikaprio Penulis : Salim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun