Mohon tunggu...
Salim Saputra
Salim Saputra Mohon Tunggu... -

Ajari aku cara menulis. Menulis dengan lincah. Menulis dengan penuh manfaat dan berkwalitas.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bikin Paspor Lewat Calo? No Way!!!

3 Oktober 2013   21:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:02 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13808107651552115295

Keinginan untuk membuat paspor sebenarnya sudah lama, hampir setahun yang lalu, ketika saya masih menjadi warga Yogyakarta. Keinginan itu muncul ketika ada info untuk ikut tes beasiswa Magister ke Brunai Darussalam. Berkas sudah disiapkan, dan juga sudah mulai mengupload berkas secara online ke imigrasi.go.id, walaupun belum masuk tahap akhir (print barcode pendaftaran). Karena bersamaan itu juga saya dihadapkan dua pilihan, tetap tinggal di Yogyakarta atau pindah ke Batam untuk pekerjaan lainnya. Dan akhirnya, pilihan jatuh ke Batam untuk memulai pekerjaan baru bersama istri.

Awal bulan Februari 2013 kami resmi menjadi warga Batam, Kepulauan Riau. Beberapa bulan kemudian kami mencoba untuk mengurus kembali pembuatan paspor tersebut. Awal mulanya ingin meminta bantuan seseorang yang bekerja di kantor imigrasi, biar cepat dan tidak repot, begitu kabarnya. Akan tetapi beberapa kali keinginan itu disampaikan belum juga bisa dibantu, karena beliau ditugaskan ke luar daerah. Pembuatan pasporpun tertunda lagi dan lagi.

Seminggu yang lalu, tepatnya pada hari Rabu (25/9) saya dan istri membawa berkas-berkas yang dibutuhkan : Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, bisa juga Ijazah, Surat Nikah, dan Surat Rekomendasi dari tempat mengajar karena saya bekerja di instansi pendidikan. Semua berkas asli dan difotokopi, untuk KTP dan Surat Nikah harus difotokopi besar (tidak boleh dipotong atau seukuran bentuk asli).

Langkah awal adalah mengambil nomor antrian dan pengambilan formulir untuk pengisian data pribadi. Saat inilah waktu menunggu cukup lama. Karena di kantor imigrasi kelas 1 khusus Batam sangat padat. Maklum, Batam adalah kota industri, selain itu ia juga berdekatan dengan Singapura, Malaysia, juga Thailand. Antrian bisa saja hingga ratusan orang. Bayangkan, kami masuk sekitar jam 8 pagi dan dipanggil sekitar jam 12 siang.

Pengisian formulir sangat hati-hati dan disiapkan semua data pribadi, termasuk nama orang tua dan tempat tanggal lahir mereka dituliskan juga, dan alamat tempat kita bekerja. Setelah itu jangan lupa menyediakan materai Rp. 6.000,00 satu lembar yang akan ditempel pada surat pernyataan bahwa data yang diserahkan (ditulis) adalah benar adanya. Ketika pemanggilan nomor antrian, kita langsung menyerahkan formulir yang sudah diisi lengkap beserta berkas yang sudah difotokopi dan memperlihatkan berkas aslinya. Selanjutnya petugas memberikan sejenis surat undangan kepada kami untuk datang hari Senin (30/9) melaksanakan proses berikutnya.

Tahap kedua, kami menyerahkan surat undangan yang kemaren diberikan dan menuggu antrian lagi. Cukup lama juga, karena lagi-lagi banyak warga Batam yang hilir mudik keluar negeri. Ketika pemanggilan nama kita (bukan nomor antri), kita langsung menuju loket pembayaran dan membayar Rp. 255.000,00 (dua ratus lima puluh lima ribu rupiah) perorang, karena saya bersama istri maka yang dibayar sebesar Rp. 510.000,00 (lima ratus sepuluh ribu rupiah) -TIDAK ADA BIAYA TAMBAHAN- dan langsung menunggu antrian foto dan wawancara.

Pada tahap foto, tidak terlalu merepotkan, cukup duduk dan difoto oleh petugas (bagi yang berjilbab tidak masalah asal muka terlihat jelas) dan kemudian pengambilan sidik jari. Selanjutnya tahap wawancara di ruang yang sama sambil menunjukkan berkas asli. Ketika ditanya negara yang hendak dituju, maka saya jawab saja untuk persiapan study tour yang akan dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tempat saya mengajar ke negara Thailand bulan Desember mendatang, ada juga keinginan untuk melancong ke Singapura dan Malaysia, insya Allah. Tahap wawancara ini sangatlah singkat, sekitar 3 menit, tidak banyak yang ditanya, mungkin karena saya adalah tenaga pendidik. Kemudian kami diminta datang kembali untuk pengambilan paspor tiga hari kemudian (Kamis, 3/10) pukul 10.00 wib.

Tahap terakhir, tidak harus antri terlalu lama, cukup menunggu sekitar 10 menit paspor sudah di tangan. Tapi sebelumnya, setelah masuk ke ruang tunggu jangan lupa menyerahkan lembaran dari pewawancara kemarin. Lembaran ini akan diambil oleh petugas pembagi paspor untuk mencari paspor atas nama kita. Jadi, kalau kita tidak menyerahkan lembaran tersebut sampai semalaman pun nama kita takkan pernah dipanggil.

Jadi, saya pun berpikir, mengapa harus lewat calo, padahal mengurus sendiri itu lebih mudah dan transparan karena tidak ada biaya tambahan, selain uang parkir Rp. 1.000,00 (seribu rupiah). Dengar-dengar cerita, para calo meminta uang kepada calon korban sebanyak Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah). Bayangkan, dua kali lipat bahkan lebih dari biaya aslinya. Tapi memang untungnya orang yang membuat paspor lewat calo adalah masalah waktu. Mereka tak perlu lagi antri berjam-jam. Ketika nomor antrian yang dipegang oleh calo sudah mendekati (khusus pada tahap foto dan wawancara), barulah calo itu menghubungi para korban untuk datang dan mengurus transaksi yang sudah disepakati, kira-kita begitu. Wallohu a’lam bish showab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun