Instrumental and Emancipatory Learning Toward a More Sustainable World: Considerations for EE Policymakers Arjen E. J. Wals and Floor Geerling-Eijff, Wageningen University & Research Center, Hollandseweg, the Netherlands Francisca Hubeek, World Wide Fund for Nature (WWF), Zeist, the Netherlands Sandra van der Kroon and Janneke Vader, Wageningen University & Research Center, Hollandseweg, the Netherlands
Saat ini, para pengambil keputusan diseluruh dunia sedang berusaha mengunakan strategi komunikasi dan pendidikan untuk bisa menciptkan dunia yang berkelanjutan. Mereka kadang menemukan diri mereka terjebak antara peran pada perubahan perilaku dan emansipatoris/pembangunan manusia sebagai sebuah strategi. Riset ini, menyelediki dan focus pada empat kasus. Salah Satu hasil temuan menyebutkan EE sebagai pengambil keputusan tetapi juga profersional, pertama perlu mencerminkan suatu jenis tantangan perubahan yang akan dihadapi. Hanya demikian, apakah mereka mampu untuk menetukan jenis pendidikan, partisipasi, komunikasi atau gabungan antara semuanya yang lebih tepat, seperti apakah hasil terbaik yang ingin dicapai dan sistem monitoring dan evaluasi yang baik seperti apa yang ingin dugunakan.
Pendahuluan
    Pembangunan yang berkelanjutan menjadi perhatian utama dunia dalam setiap agenda kebijakan international, nasional dan local. Misalnya seperti pemerintah Belanda, memandang  pendidikan lingkungan(Enviromental Education) dan pembelajaran pembangunan yang berkelanjutan(Learning for Sustainability Development) sebagai alat kebijakan instrumental yang komunikatif dan bisa mendorong pembangunan yang berkelanjutan didalam masyarakat. Lembaga Netherlands Environmental Assessment Agency(MNP) mencoba untuk melihat kembali sejauh mana efektivitas  dari adanya kebijakan Envriomental Education terhadap masyarakat. Riset ini, mengungkapkan bahwa Informasi yang tersedia tentang pendidikan instrumental yang berkelanjutan dimasyarakat dan secara praktikal masih sedikit. MNP melakukan penelitian lanjutan untuk melihat kembali sejauh mana perbedaan pendekatan kebijakan EE tercermin secara praktis.
      Upaya kebijakan EE untuk merespon beberapa pertanyaan seperti
- Bagaimana pendekatan EE bisa berkontribusi mengarahkan praktek baru yang lebih berkelanjutan dari pada yang ingin diusahakan untuk perubahan? Bagaimana pendektakan atau instrument tersebut di perkuat atau dirubah?
- Bagaimana pembuat kebijakan EE bisa lebih kompeten dan efektif mengunakan instrutmen yang komunikatif untuk mengerakkan masyarakat menuju keberlanjutan/sustainability
- Apa peran pengetahuan dipendekatan ini?
Riset ini, membahas tiga pendekatan dalam kebijakan EE, pertama diklasifikasi yang didominasi secara instrumental, kedua label yang diberi emansipatoris dan ketiga adanya gabungan dari kedua label tersebut.
Komunikasi dan instrumental Enviromental Education
Pendekatan instrumental pendidikan lingkungan berusaha merumuskan tujuan spesifik missal seperti apa perilaku yang lebih disukai dan menganggap kelompok sasaran lebih sebagai penerima yang pasif, siapapun diharapkan untuk mengerti jika intervensi komunikatid bisa memberi efek apapun. Model pendekatan yang berdasarkan karya Ajzen dan Fishbein.
Karakteristik pendekatan penyusun dan pendukung yang lebih berperan adalah secara terus menerus mencari artikulasi yang baik, hasil yang lebih terukur, indicator yang cangih agar bisa membuat intervensi yang lebih efektif dan membuktikan bahwa mereka memang efektif. Kiritikal instrumental mengunakan EE untuk memperdebatkan bahwa mengunakan pendidikan untuk merubah perilaku orang lebih berkaitan dengan manipulasi dan indoktrinasi dari pendidikan. Pendukun terhadap EE berpendapat masa depan bumi dipertaruhkan, segala cara yang dipergunakan adalah sah. Cukup menarik, Kebijakan Belanda yang menjadi pendukung ada di kementrian yang focus pada Pertanian, Pengunaan lahan, Konservasi Alam, perlindungan Lingkungan, Keamanan Pangan dan Energi dan kritik terhadap pengunaan pendidikan ditemukan di Kementrian Pendidikan.
Emansipatory Enviromental Education
Pendektan emansipatoris melibatkan masyarakat dalam dialog yang partisipatif dan aktif untuk menetapkan secara bersama membangun tujuan, membagi makna dan bergabung menyusun rencana tindakan bersama untuk mengarah pada perubahan diri mereka sendiri, dimana pemerintah berharap kontribusi perubahan berkelanjutan pada masyarakat secara keseluruhan (Wals & Jickling, 2002).