Mohon tunggu...
Salamuddin Uwar
Salamuddin Uwar Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Air Putih

Menjadi pengajar di pelosok timur Indonesia, sambil sesekali menikmati bacaan tentang Hukum, HAM, Demokrasi, Sosial Budaya, Bahasa, Sejarah, dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan dan Ritual Mol Moli di Tengah Budaya Patriarki Masyarakat Banda

17 April 2024   20:50 Diperbarui: 17 April 2024   20:57 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada saat ini, kita sering disuguhi oleh berbagai berita tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berbagai upaya telah dan tengah dilakukan untuk mengatasi problem sosial tersebut, misalkan dengan dibentuknya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta berbagai lembaga swadaya masyarakat yang konsentrasi terhadap isu perempuan dan anak.

Selain itu pula berbagai perangkat peraturan telah dibuat mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah, namun kita masih disuguhi oleh berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di negeri ini. Tentu saja kondisi yang demikian tidak bisa terlepas dari budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat kita. Mayoritas masyarakat Indonesia menganut sistem Patriarki, Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Dalam budaya patriarki, masyarkat kita cenderung menempatkan perempuan sebagai subordinasi dari laki-laki. Laki-laki selalu memiliki keunggulan lebih dalam beberapa aspek, seperti dalam hubungan sosial, politik, maupun kehidupan beragama.

Hal inilah yang kemudian memicu berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tak terkecuali di provinsi Maluku. Tentu saja kondisi demikian tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja, tetapi perlu ada upaya preventif dari berbagai stakcholder terutama pemangku kepentingan, baik dari pusat hingga daerah, maupun dari legislatif hingga eksekutif.  Berbagai upaya tersebut perlu di dukung oleh semua pihak, termasuk masyarakat di mana kekerasan terhadap perempuan dan anak itu tumbuh berkembang. Dukungan yang dimaksud adalah peran serta masyarakat dalam menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui kearifan lokal masyarakat setempat.  Budaya kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dihapus dengan menggunakan pendekatan budaya pula. Penulis percaya bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang diyakini dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagaimana budaya masyarakat Banda di Provinsi Maluku.

Kedudukan dan Peran Perempuan Banda

Hal yang tidak bisa kita pungkiri bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang terbentuk dari berbagai latar belakang etnik dan budaya yang berbeda. Di Maluku sendiri, secara sosio-demografis terdiri dari berbagai masyarakat dan sub-etnik yang menyebar dari ujung Halmahera sampai Tenggara Jauh. Dan di antara sub-etnik dan budaya tersebut terdapat salah satu kelompok masyarakat yang secara turun temurun melestarikan budayanya dengan baik sampai saat ini. Kelompok budaya dimaksud adalah masyarakat Banda di Provinsi Maluku. Jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat, masyarakat Banda sudah terkenal sebagai kelompok masyarakat yang terbuka terhadap berbagai kebudayaan dari luar seperti budaya masyarakat Eropa, Cina, dan Arab. Akan tetapi keterbukaan masyarakat Banda terhadap budaya luar tersebut tidak serta merta menghilangkan budaya Banda akibat pertemuan antara berbagai budaya tersebut.

Hal ini pula diakui oleh Timo Kaartinen, bahwa masyarakat Banda adalah sebuah komunitas yang mampu mempertahankan kedaulatan budayanya hingga saat ini. Namun demikian, sebagaimana komunitas budaya lain di Maluku, masyarakat Banda adalah penganut budaya patriarki yang cukup kental dalam menjalankan kehidupan sosialnya. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sosial masyarakat Banda yang menempatkan laki-laki pada posisi istimewa dalam berbagai kehidupan sosial, jika dibandingkan dengan peran perempuan yang hanya terbatas pada urusan rumah tangga saja. Namun demikian, dalam hal tertentu peran perempuan Banda sangat dibutuhkan dalam beberapa aspek, misalkan dalam melantunkan lagu-lagu tradisional atau dalam melaksanakan ritual-ritual. Timo Kaartinen menyatakan bahwa dalam penelitiannya ia banyak sekali menemukan lagu-lagu dan ritual--ritual yang menekankan pada pertalian antar masyarakat Banda dengan anggota keluarga yang merantau, dan antar leluhur-leluhur mereka di seluruh Kepulauan Banda.

Misalnya dalam hal melantunkan lagu-lagu tradisional yang meriwayatkan tentang keberislaman orang Banda, perjuangan melawan penjajah, pengembaraan, serta asal usul orang Banda. Kebanyakan pelantunnya adalah perempuan, bahkan menurut Timo Kaartineen, Penyanyi terbaik yang dikenal biasanya adalah para perempuan. Masih menurut Timo Kaartineen, Pada dasarnya lagu-lagu tersebut merupakan kekayaan intelektual kelompok-kelompok patrilineal, namun penyanyinya adalah para perempuan yang sering berpindah dari satu kelompok patrilineal ke kelompok patrilineal lainnya pada saat mereka menikah. Lagu-lagu tradisional tersebut dikenal dengan nama Onotan dan Sarawandan. Namun ketika melantunkan Onotan dan Sarawandan dalam beberapa hal tidak selamanya dinyanyikan oleh para perempuan, namun para laki-laki pun bisa melantunkannya.

Kalau dalam melantunkan Onotan dan Sarawandan para kaum lelaki bisa ikut berperan, maka dalam ritual tertentu dalam budaya masyarakat Banda, laki-laki tidak bisa ikut serta dan hanya kaum perempuan saja yang sepenuhnya terlibat dalam ritual dimaksud. Bahkan peran perempuan sangat vital dikarenakan "keselamatan" kaum laki-laki tergantung pada perempuan dalam menjalankan ritual tersebut. Tentu saja, peran perempuan Banda dalam kehidupan sosial semacam ini menegaskan akan pentingnya kedudukan perempuan di tengah budaya patriarki masyarakat Banda. Hal ini sekaligus menjawab bahwa dalam budaya patriarki tidak semua hal menjadi urusan kaum laki-laki, ataukah laki-laki memiliki kekuasaan mutlak atas perempuan dalam segala aspek kehidupan. 

Perempuan Banda dan Ritual Mol-Moli

Dalam kehidupan sosial peran perempuan Banda selalu terbatas oleh ruang dan waktu, bahkan dalam hal tertentu ruang gerak mereka dibatasi. Namun di balik keterbatasan ruang gerak tersebut, perempuan Banda justru diberikan peran yang sangat vital untuk melindungi kaum laki-laki. Peran tersebut terdapat pada ritual Mol-moli. Ritual Mol-moli adalah ritual keselamatan bagi kaum laki-laki yang melakukan perjalanan jauh semacam pergi berperang, merantau, ataukah menunaikan ibadah haji. Tujuan dalam ritual tersebut adalah agar meminta keselamatan kepada Tuhan bagi kaum laki-laki yang melakukan perjalanan tersebut. Dalam bahasa Banda disebut dengan istilah Rorot nuani kanani wa Nduan Tala. Ritual Mol-moli sampai saat ini masih tetap dijalankan oleh masyarakat Banda dengan tetap menjaga nilai kesakralannya. Dalam menjalankan ritual ini ada beberapa syarat yang harus mutlak dipenuhi. 

  • Pelaku ritualnya haruslah perempuan, terdiri dari perempuan muda yang belum mendapatkan haid, serta perempuan tua yang sudah menopouse.
  • Belum/tidak memiliki hasrat seksual.
  • Para perempuan tersebut harus dalam keadaan suci dan jauh dari hal-hal yang berbau duniawi.
  • Harus berperilaku baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun