Mendengar kata Jakarta, maka yang terbesit dalam pikiran beta adalah tentang Ibu Kota Negara, kota yang selalu menghadirkan berbagai problem sosial, kota yang menawarkan kebahagiaan sekaligus penderitaan bagi penghuninya. Tentu saja, pikiran yang demikian tidak terlepas dari berbagai informasi yang beta dapatkan melalui media masa, maupun media sosial yang ada. Namun dalam tulisan ini, beta tidak melihat Jakarta dalam perspektif yang demikian, karena bukan hanya Jakarta yang mengalami nasib demikian, akan tetapi hampir seluruh kota-kota besar di dunia juga mengalami hal yang serupa.Â
Pada dasarnya membahas problem Jakarta, semisal tentang macet, dan banjir adalah sesuatu yang basi dan tidak lagi seksi. Bagi penduduk Jakarta, macet dan banjir bukan lagi menjadi kejadian yang luar biasa, karena mereka berteman dengannya hampir setiap saat dan setiap musim. Lain ceritanya, jika macet dan banjir melanda kota tempat beta bermukim, maka hal itu termasuk kejadian luar biasa, karena tempat bermukim beta hampir tidak pernah bersentuhan dengan yang namanya macet dan banjir. Beta lebih tertarik membahas relasi antara Jakarta dengan Maluku dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara maupun kehidupan sosial, karena menurut beta dalam dua kehidupan ini, orang-orang Maluku ikut serta berperan di dalamnya.
Saat ini, Jakarta memang memiliki daya tarik yang lebih, jika dibandingkan dengan Maluku. Walaupun pada masa lalu, beta berani menyatakan bahwa Maluku lebih memiliki daya tarik yang lebih jika dibandingkan dengan Jakarta. Maluku merupakan salah satu dari delapan Provinsi yang pertama kali dibentuk sejak kemerdekaan bangsa Indonesia. Hanya saja, dalam perjalanan pembangunan bangsa ini, Maluku mengalami ketertinggalan yang cukup jauh, jika dibandingkan dengan Jakarta. Kondisi Maluku yang demikian, menyebabkan sebagian warga Maluku memilih meninggalkan tanah kelahirannya, demi mencari kehidupan yang lebih layak di Ibu Kota Negara.
Sejak zaman pra dan pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, banyak tokoh-tokoh Maluku yang memilih melanjutkan perjuangan Kapitan Pattimura dan Cristina Martha Tiahahu di Jakarta, misal seperti; Mr. J. Latuharhary, Dr. J. Leimena, G. A. Siwabessy hingga Karel Sadsuitubun. Tapi kini, sangat jarang kita melihat munculnya tokoh-tokoh nasional asal Maluku yang berkiprah di Jakarta, bahkan keberadaan orang-orang Maluku di Jakarta dipandang negatif oleh warga Jakarta lainnya. Padahal dahulu, keberadaan Joung Ambon disegani karena konteribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa ini, namun lambat laun keberadaan sebagian anak-anak muda Maluku menjadi beban sosial bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Maksud beta adalah, terjadinya pergeseran peran antara generasi pejuang kemerdekaan asal Maluku dengan sebagian generasi muda Maluku sahat ini di Jakarta. Sebagian orang Maluku di Jakarta saat ini diidentikkan dengan kekerasan jalanan, beberapa di antaranya beruntung menjadi Artis atau Olahragawan di Ibu Kota. Dan sampai saat ini, tidak a da yang menyamai prestasi-prestasi yang pernah ditorehkan oleh para pendahulunya. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, terlepas dari persoalan ketimpangan pembangunan antara Jakarta dan Maluku paska kemerdekaan bangsa ini. Â
Premanisme menjadi salah satu problem sosial di Jakarta selain macet dan banjir, tentu saja kondisi sosial semacam ini harus mendapatkan penanganan yang serius oleh pemerintah DKI Jakarta. Premanisme adalah penyakit sosial yang bila dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kehidupan sosial warga Jakarta. Sejauh pengetahuan beta, keberadaan kelompok  premanisme di Jakarta beberapa di antaranya berasal dari Maluku. bahkan keberadaan mereka terorganisir secara baik dengan menyediakan jasa keamanan (body guard) atau jasa penagihan utang (debt collector). Tentu saja, keberadaan kelompok ini selain meresahkan warga Jakarta, juga melahirkan image bahwa orang Maluku selalu identik dengan kekerasan, dan lebih mengutamakan otot dibanding otak. Stereotip yang demikian, tentu saja tidak selamanya benar, mengingat banyak di antara orang-orang Maluku jauh dari kesan yang demikian.
Adalah benar, bahwa pada umumnya orang Maluku memiliki karakter yang keras, namun karakter yang keras tersebut tidak selamanya mengarah pada kekerasan tapi ketegasan. Hal seperti inilah yang pernah ditunjukkan oleh Mr. J. Latuharhary dalam menyampaikan protesnya terhadap isi Piagam Jakarta. Karakter orang Maluku yang demikian, tentu saja tidak bisa terlepas dengan kehidupan sosial budayanya. Masyarakat Maluku dalam kesehariannya, selalu menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan persamaan, terkadang nilai-nilai budaya semacam ini sering di tempatkan pada tempat yang salah oleh sebagian orang Maluku, dan pada akhirnya hanya melahirkan stigma bahwa orang Maluku selalu lekat dengan budaya kekerasan.
Karakter masyarakat Maluku yang keras tersebut, menurut beta sangat diperlukan oleh siapa saja, termasuk pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menangani berbagai problem sosial  seperti premanisme. Premanisme tidak bisa dihadapi hanya dengan mengandalkan pendekatan soft power, tapi diperlukan pendekatan yang keras dan tegas, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan keadilan. Dengan pendekatan semacam ini, beta yakin bahwa usaha pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi berbagai problem sosial tersebut dengan mudah dilaksanakan, tentu saja dengan menawarkan solusi yang tepat bagi setiap problem sosial dimaksud. Di sisi lain, mengatasi problem sosial bukan hanya an sich menjadi tanggung jawab pemerintah Provinsi DKI Jakarta, akan tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk kesadaran kolektif warga masyarakat DKI Jakarta. Hal ini tentu saja tidak mudah, namun dibutuhkan keberanian dan ketegasan dari setiap pengambil kebijakan, sehingga upaya mengatasi berbagai problem sosial tersebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pada akhirnya, ketika melihat Jakarta dari Maluku, ibarat melihat langit dari bumi, jarak di antara keduanya terlalu jauh untuk dibandingkan. Sejak kemerdekaan bangsa ini, Maluku terlalu banyak ketinggalan dalam berbagai aspek pembangunan jika dibandingkan dengan Jakarta. Kesenjangan antara keduanya sangat nampak, baik dari sisi pembangunan infrastruktur, maupun pembangunan sumber daya manusia.Â
Di lain sisi, faktor ketertinggalan inilah yang kemudian memicu terjadinya eksodus orang-orang Maluku ke Ibu Kota Negara. Dan ketika tiba di Jakarta, mereka tidak dibekali dengan keterampilan yang mumpuni, dan pada akhirnya mereka memilih hidup di jalan demi melanjutkan kehidupannya. Dari kehidupan jalanan ini pula, terbentuklah kelompok-kelompok preman yang keberadaannya meresahkan warga sekaligus menimbulkan problem sosial bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Â
Dalam menangani problem sosial semacam ini, kehadiran Negara sangatlah penting. Mengingat pemicu lahirnya problem sosial tersebut, bersumber dari ketimpangan pembangunan antara daerah satu dengan daerah lain. Negara harus adil dalam membagi kue pembangunan, sehingga tidak ada lagi perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah lain dengan alasan peningkatan kesejahteraan hidup. Pada dasarnya, ketimpangan pembangunan antara daerah hanya akan melahirkan ketimpangan sosial, dan ketimpangan sosial hanya akan melahirkan problem sosial baru bagi negara. Padahal di lain sisi, Negara berkewajiban menghadirkan kesejahteraan bagi setiap warganegara sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.***