Mohon tunggu...
muhammad ainun najib al-fauzani
muhammad ainun najib al-fauzani Mohon Tunggu... -

seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lima Ribu Perak

2 April 2012   05:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



LIMA RIBU PERAK

By. Mauhammad ainun najib

Jarum jam telah menunjukkan jam 17.00 WIB (waktu Indonesia bantul) waktu dimana sang mata dunia bersiap-siap untuk kebali ke pembaringannya,di ufuk barat.

Sore itu maulana tidak terlihat melakukan aktivitas yang berarti, ia hanya membaringkan tubuhnya di tebalnya tumpukan kasur yang telah ia susun sebelumnya tepat di depan televisi mungil berukuran 14 inch. Seraya menikmati serunya tayangan Saolin soccer yang disajikan ANTV, disertai hembusan angin yang keluar dari kipas dinding yang juga turut melenakan maulana pada sore itu.

Ketika tayangan saolin soccer tersebut usai, maulana baru menyadari kalau ternyata perutnya belum terisi apa-apa sejak pagi kecuali sedikit camilan yang ia makan ketika ia mengikuti rapat koordinasi yang diadakan oleh Lembaga Studi Qur’an dan Hadits (LSQH) jam 09.15 pagi. Namun, sedikit camilan tersebut mungkin hanya bisa mengganjal lapar selama 30 menit.

Maulana bangkit dari pembaringannnya, ia berjalan lunglai menuju lemari pakaiannya, diambilnya sebuah dompet bercorakkan loreng diantara tumpukan pakaiannya kemudian di bukanya TRASSSSSHHHH,

“Ya Allah hanya tinggal lima ribu rupiah” ujar maulana kaget. Selembar pecahan lima ribu tersebut ia pegangi, namun hatinya merasa gusar memikirkan akan nasibnya untuk dua hari ke depan apa yang akan terjadi padanya.

“ya Rabb, kalau uang ini ku pergunakan untuk mengganjal perut ku hari ini itu berarti aku tidak bisa kekampus besok, padahal besok masih ada ujian. tapi seandainya uang ini ku pergunakan untuk keperluan ke kampus besok, berarti aku harus rela untuk tidak makan hari ini padahal semenjak pagi aku belum makan apa-apa kecuali sedikit camilan. Apa yang harus aku lakukan” rintih maulana sore itu.

Maulana seperti dihadapkan dengan buah simalakama, memilih diantara dua pilihan yang sangatmembingungkan. Disatu sisi maulan juga merupakan manusia biasa yang memang membutuhkan makan untuk bertahan hidup, namun disisi lain ia juga harus mengikuti ujian ia tak mungkin meminta izin untuktidak mengikuti ujian.kalaupun ia nekat untuk jalan kaki menuju kampus hal tersebut rasanya tidak memungkinkan karena jarak rumahnya ke kampus sangat jauh

♫♫♫♫♫

Tiba-tiba………

“Lan masak apa kita sore ini” Tanya teman maulana yang tinggal serumah bersama maulana.

“aduh bang, jujur ana lagi nggak ada uang ni, ini saja hanya lima ribu perak yang tersisa itu pun untuk keperluan ke kampus besok”. jawab maulana.

“insyaallah dua hari lagi uang ana masuk” tambah maulana lagi.

“ ya udah, gini ajalah, abang ada uang tiga ribu rupiah ni kita belikan ubi saja gimana ? dari pada kita tidak makan apa-apa hari ini, masalahnya uang abang juga sedang habis ni”. Ujar teman maulana mencoba memberikan solusi.

“tiga ribu rupiah Cuma dapat berapa lah bang” ? Tanya maulana.

“ yach cukuplah untuk membeli dua kilo,nanti kita rebus aja semua kalau ada sisanya kita buat untuk sarapan pagi keesokannya. Gimana, setuju” ? ujar teman maulana.

“ oke lah bang kalau memang begitu. Dari pada kita kelaparan” ? sahut maulana kemudian.

Setelah itu maulana kembali ke pembaringannya, sedangkan temannya pergi ke pasar ubi atau yang lebih di kenal orang “pasar telo” yang berjarak hanya lima menit dari rumah maulana dengan menggunakan sepeda motor.

Tak lama berselang teman maulana telah pulang dengan membawa sekantong ubi, di bawanya ke dapur lalu dibersihkan baru kemudian di rebus. Api biru pun menyala dari sebuah kompor gas usang mencoba membakar panci yang sejak tadi nongkrong di atasnya. butuh waktu dua jam untuk membuat ubi tersebut layak untuk di konsumsi.

Seraya menunggu ubi tersebut matang maulana kemudian mandi karna waktu maghrib hampir tiba, setelah mandi kemudian ia melaksanakan shalat berjamaah di rumahnya bersama temannya. Ia akhiri shalat maghrib tersebut dengan beberapa lantunan doa. Kemudian setelah shalat ia kembali ke dapur mencoba untuk melihat apakah ubinya sudah matang apa belum., didapatinya temannya sudah berada disana.

“udah matang ni lan, makan yuk, yach untuk sekedar mengganjal perut saja daripada kosong” ajak teman maulana.

“ oke lah bang, “ jawab maulana semangat.

Merekapun kemudian dengan lahap menyantap potongan-potongan ubi rebus tersebut seakan-akan sepiring pizza yang tersaji. Tak lama berselang potongan-potongan ubi tersebut telah habis di lahap maulana dan temannya. Kelihatan sekali mereka sangat lapar, bahkan sepertinya mereka sangat kelaparan.

“Alhamdulillah” ujar maulan kemudian

“ya Allah terima kasih atas nikmat mu hari ini walaupun yang kami makanbukan lah berupa nasi, tapi setidak nya itu cukup untuk mengganjal perut kami hari ini” terucap lantunan terakhir maulana di malam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun