Mohon tunggu...
Sekolah Aksara
Sekolah Aksara Mohon Tunggu... profesional -

Sekolah kepenulisan dengan motto "menulis dari hati".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Perempuan

22 Mei 2012   03:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:59 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga Perempuan

Oleh Salam Rahman

Telepon berdering.

Jemari halus mengangkatnya. “Halo.” Lembut.

“Benar kamu tidak bisa terima aku?” sergah suara di seberang.

“Iya.”

“Hidupmu bakal lebih terjamin!”

“Tidak perlu!”

Dengus nafas keras memburu di seberang.

“Masih sayang anakmu kan?”

“Tentu saja!”

“Bagus. Pikirkan saja nasibnya.”

Klik.

Si pemilik jemari halus mendengus. Bercampur tangis.

***

Menjadi perempuan tidak mudah. Apalagi menjadi janda. Janda sudah beranak pula. Terutama ketika sang putera mulai sibuk bertanya kenapa ia tidak punya bapak. Tidak seperti teman-temannya yang lain.

“Mak, kok Aman nggak punya bapak?” Sebuah pertanyaan di suatu senja. Tatkala seorang janda usia tigapuluhan melepas lelah setelah seharian bergulat dengan cucian kotor di rumah tetangga.

“Emang kenape?”

“Kan kasian Emak.”

“Kasian apaan?”

“Mesti nyuci terus,” Mulut mungil itu berujar memelas. “Kalo ada bapak kan bisa bantuin Emak nyuci.”

Si Janda terkekeh. Dasar anak kecil. Tentu aje laki-laki bisa bantu lebih dari cuman bantu nyuci, batinnya pilu. Bantu nemenin tidur misalnye.

Ia menatap senja. Lembayung tertutup mendung.

***

Ponsel bergetar. Nada deringnya mengalun syahdu.

Jemari Halus mengangkatnya. “Halo.” Lembut.

“Sudah kamu pikirkan tawaranku?” Suara tegas terdengar di seberang. Tanpa basa-basi.

“Beri aku waktu…”

“Ah, macam anak perawan saja! Apa sih susahnya bilang iya?!”

“Mas, ini bukan pilihan mudah!”

“Memangnya kamu punya pilihan?!”

“Tentu saja!” Desisnya kesal. “Aku manusia!”

“Bukan. Kamu lonte!”

Klik.

Kali ini Jemari Halus menangis keras. Di dalam hati.

***

Menjadi pengantin itu membahagiakan. Bagai raja dan ratu sehari. Tiada momen yang membahagiakan selain bersanding dengan orang yang dicintai dan mendapatkan ucapan tahniah dari para undangan. Seakan dunia menjadi saksi atas kegembiraan suci tersebut. Namun menjadi pengantin juga alamat kekecewaan. Bila ternyata sang suami tercinta hanya penjudi dan tukang selingkuh. Rasanya roti buaya di hari pernikahan perlambang kesetiaan hanya sebagai sebuah sindiran.

Ah, kok masih aje inget die, Si Janda membatin. Die aje enggak inget keluarga. Malah kabur ame caboKerawang!

“Kok nangis, Mpok? Ada apa?” Suara lembut menariknya ke bumi. Si Jemari Halus mendekatinya. Ia berjongkok dan mengusap-usap bahu Si Janda.

Si Janda tergeragap. Disambarnya sepotong baju dari puncak tumpukan cucian. Disikatnya keras-keras. Ia bayangkan baju itu adalah wajah suaminya dulu.

“Jangan pura-pura. Mpok Nasipe tadi nangis ya?”

“Kagak,” bantah Mpok Nasipe pelan. Betul, Bu. Saya sedih, ujarnya di dalam hati. Ia mengangkat wajahnya, berusaha tersenyum. Tapi dilihatnya bekas alur anak sungai di pipi putih sang majikan.

“Bu Arin nangis?”

“Eh, tidak!” Gantian Arin membantah. Tapi tak urung kedua tangannya lekas menghapus jejak kesedihan di wajahnya. Mpok Nasipe tersenyum. Percuma, Bu, udah ketauan. Tapi anehnya dadanya agak plong sedikit. Ternyata melihat orang menangis dapat meringankan beban. Tapi kenape Bu Arin nangis ye? Pikiran Mpok Nasipe merantau di balik kesibukannya membilas cucian.

“Ya, sudah,” ujar Arin seraya berdiri. Seakan menegaskan bahwa ia majikan dan perempuan sebayanya itu hanya buruh cucinya. “Kalau Mpok Nasipe tidak mau mengaku sudah menangis, tidak apa-apa. Saya maklum. Sebagai sesama janda, saya maklum kok,” ujar Arin tersenyum. Ia menekankankan kata “janda”.

“Iye, Bu. Jadi jande emang kagak enak. Susah mulu. Tapi ibu sih enak, kaya. Lha saya kan beda. Keblangsak terus nasibnye!”

Arin tersenyum getir. Kaya belum tentu bikin bahagia. Airmatanya hendak lumer. “Mpok, nanti lagi ya ngobrolnya. Saya ngantuk!” Pura-pura menguap, Arin bergegas ke kamarnya. Menumpahkan airmata di bantal sunyinya.

Mpok Nasipe mendesah. Kecewa. Ia sebetulnya hendak menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang penting bagi dirinya dan bagi Aman, anak sebiji matanya. Tapi belum tentu penting bagi majikannya yang tiap malam selalu berganti-ganti diantar mobil mewah. Soal ini sudah banyak omongan miring para tetangga tentang majikannya. Tapi Mpok Nasipe tidak percaya. Itu bergunjing namanya kata Wak Nong, guru ngajinya sewaktu kecil. Lagipula terlalu banyak masalahnya sendiri daripada harus mengurusi masalah orang lain.

Ah, idup kok susah amat ye!

Dilampiaskannya kekecewaan pada cucian. Disikatnya sekuat tenaga, dibanting dan diperasnya habis-habisan. Ia membayangkan mencekik leher mantan suaminya dan derita kemelaratan yang melilit.

Di tanah lapang yang kian jarang di Jakarta.

“Aman, Emak lo udah kasih duit belom?” Seorang anak usia belasan berdiri tegak menghadang Aman. Tatapannya menusuk.

Aman menunduk. Sesekali menyeka ingus. “Belom.”

“Gimana sih? Kalo kayak gini kapan kita bisa patungan beli bola?!”

Serentak sahutan-sahutan lain bak dengungan suara lebah mengantup.

“Iya, Man. Payah lo!”

“Ga asyik ah!”

“Huu…maennya mau lo, Man. Giliran patungan, ogah!”

Tepat menyengat hati Aman. Bocah tujuh tahunan itu tersengguk. Hatinya remuk. Jika bapaknya memang benar tukang batu seperti cerita Emak ingin ia agar bapak sendiri yang memperbaiki hatinya saat ini. Tapi ia anak yatim. Setidaknya itu kata Emak. Itu yang bikin hatinya kian berkeping-keping.

Berlarilah Aman membawa serpihan hatinya yang rontok. Berlari, berlari hingga hilang pedih peri…

Di kamar di sebuah rumah megah.

“Ning, sedang apa? Sibuk ya?”

Suara keibuan di seberang sana menjawab,”Enggak kok, Rin. Piye to?”

“Aku butuh kamu sekarang…”

So sweet. Aku juga kangen. Eh, aku ada waktu nanti malam. Ketemuan yuk!”

“Di mana? Jam berapa?”

Siang itu terpatrilah sebuah janji untuk bertemu.

Arin menutup teleponnya dengan wajah sumringah. Ada gelegak dalam diri yang butuh penyaluran.

Ruang Rindu kembali mengalun.

“Halo.”

“Ma, kapan Nia dijemput? Nia enggak betah nih di sini bareng Papa!”

“Ehm..sabar ya, Honey. Sebentar lagi kok,” jawab Arin. Ia mulai terisak.

“Ah, sebentar terus. Dua bulan lalu Mama juga bilang begitu. Nia benci Mama!”

Klik.

Tiada yang lebih menyakitkan hati seorang ibu selain dibenci darah dagingnya sendiri. Untuk itulah anak sungai di mata Arin mengalir jauh. Jauh sampai ke lautan rindu yang membentang membatasi mereka.

“Bu! Bu Arin!” Ketukan disertai seruan berulang-ulang mengagetkan Arin yang bersimbah airmata di atas ranjangnya.

“Ada apa, Mpok?”

“Maap, Bu. Saya mau ngomong,” ujar Mpok Nasipe takut-takut. “Eh, Ibu abis nangis ye?”

Arin meletup. Ia sudah bersusah-payah menghapus airmatanya lalu tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dan hanya mendapati pertanyaan sepele itu.

“Dari tadi itu aja pertanyaanmu. Bosan!” sahutnya tajam. “Iya, saya nangis. Memang kenapa?Sekarang kamu mau ngomong apa?!”

Nyali Mpok Nasipe ciut. “Eh, maap, Bu. Maksudnye…”

“Saya sibuk. Tidak mau diganggu. Upah nyuci kamu kan nanti akhir bulan. Masih tiga minggu lagi. Sudah sana!”

Nah, itu maksudnye. Mau kasbon!

Sayang sudah nasib suara hati untuk tak terdengar orang. Pintu kamar sudah ditutup keras. Setengah dibanting.

Mpok Nasipe gemetar. Kok Bu Arin tumben galak amat ye? Ape lagi dapet?

Ia pun beranjak keluar. Kepalanya pening memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya kepada Aman. Jawaban yang ditunggu sejak seminggu lalu.

Duh, idup kok susah amat ye!

***

Aman cemberut. Ia membuang muka. Tangan Mpok Nasipe mengelus-elus rambut ikal puteranya itu. Lampu neon dua puluh lima watt meredup. Garis-garis kehitaman mulai merajahi batang lampu. Sudah waktunya diganti. Seperti juga TV 14 inci di atas buffet yang layarnya sudah banyak “semut” yang tiapkali harus digebrak agar gambarnya layak dilihat.

“Maap ye, Man. Emak belom punye duit.”

Aman bergeming. Mulutnya kian manyun.

“Kok Aman nggak mau nurut Emak sih?!” Mpok Nasipe mulai dongkol dengan sikap Aman.

Aman adalah satu-satunya buah perkawinan Mpok Nasipe dengan sang suami yang pengkhianat. Selama lima tahun perkawinan ia menderita lahir dan batin. Gara-garanya ia dituduh mandul. Padahal karena keterbatasan biaya tak pernah sekalipun mereka berdua memeriksakan diri ke dokter. Hanya karena ingin menjaga nama baik suami di depan keluarga, ia kunci mulut rapat-rapat. Ironisnya, di tahun kelima, ketika usia Aman belum lagi empat puluh hari, sang suami minggat bersama perempuan lain.

“Masak dua puluh ribu aje ga ada sih, Mak?” tanya Aman lirih. “Kan katenye Emak udah nyariin dari minggu kemaren.”Matanya menatap penuh harap. “Aman kan malu ame temen-temen…”

Mpok Nasipe menghela nafas panjang. Dua puluh ribu jumlah kecil buat yang berpunya. Tapi buat buruh cuci berpenghasilan dua ratus ribu sebulan, itu jumlah yang lumayan besar. Penghasilan yang seiprit itu pun harus lihai dibagi-bagi dengan kebutuhan sekolah dan kebutuhan rumah tangga yang saling berebut naik. Meski ia juga cari tambahan dengan menitipkan jualan kue di warung-warung sekitar, tetap saja tak kecandak, tidak tertutupi. Hanya atas izin Allah ia dan Aman bisa tidak kelaparan meski harus sering berpuasa dan berhutang kiri-kanan.

Aman luluh. Tak tega ia melihat emaknya tepekur diam. Berusaha tegar menahan tangis. Kendati ia tahu airmata Emak sudah meluber di pelupuk mata. Tinggal menunggu tumpah. Wajah manis Emak lebih sering mendung karenanya.

“Mak…”

“Maapin Aman,” Aman mencium tangan emaknya. “Aman salah udah bikin Emak nangis. Padahal kan Ustadz Romli bilang Aman kudu jagain Emak. Aman kan anak laki. Betul ye, Mak?”

Mpok Nasipe mengangguk haru. Di bibirnya tersaput senyum bangga.

“Besok Aman diajakin Mamut jualan koran. Mas Tito kan buka usaha agensi koran. Aman boleh jualan, Mak?”tanyanya. “Abis Subuh ame sore kok.Jadi bisa tetep sekolah.”

Mpok Nasipe kian haru. Anaknya ternyata lebih jantan daripada bapaknya. Tapi tetap saja sebagai ibu sekaligus bapak Aman, ia harus berbuat. Tapi pinjem kemane ye?

Senja lindap. Malam menyergap. Selubung hitam Jakarta terhampar. Di ujung selubung dua makhluk molek bertukar rasa dalam kamar sebuah apartemen elite. Hanya beberapa ratus meter dari kawasan Segitiga Emas.

“Tadi kok kamu makannya tidak bernapsu, Rin? Masakannya tidak enak ya? Padahal restoran tadi restoran Perancis terkenal lho!”

Arin tersenyum dipaksakan. Menatap Wening yang sedang menuangkan wine merah.

“Enak kok. Aku lagi banyak pikiran aja,” jawab Arin sambil menerima sesloki wine dari Wening. Cairan anggur merah itu lekas menggelontor kerongkongannya.

“Ih, kamu minum wine kok tidak ada seninya sih!” protes Wening melihat Arin menenggak wine seperti minum air kendi. “Wine itu karya seni. Minumnya harus dengan style. Dicicipi dulu. Pelan-pelan. Nah, biarkan rasanya menyebar ke seluruh bagian lidah,” cerocos Wening. “Wine juga tidak bisa untuk teman sembarang makanan. Untuk hidangan ikan, pakai wine putih. Sementara untuk hidangan daging, wine merah lebih cocok. Feel-nya lebih pas!”

“Aku tahu. Pelangganku kan banyak yang bule juga.”

Sorry, aku lupa. Aku kan French-minded banget gitu lhoh!”

“Ya, iyalah. Kamu kan gundiknya diplomat Perancis!”

Tawa berderai memenuhi kamar luas dan nyaman bernuansa merah muda itu. Namun kehangatan itu lenyap segera. Arin kembali terdiam. Berderai airmata.

Wening panik. “Piye to?”

“Aku capek, Ning…”

Wening mendekap lembut Arin.

Mengalirlah segala isi hati Arin.

“Jadi anakmu masih bersama mantan suamimu yang menuntut rujuk itu?” simpul Wening. “Mantan suamimu yang pengusaha batubara itu kan?”

“Ya. Dia merasa bisa membeli segalanya. Termasuk diriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh Arin. “Dengan kelihaian pengacaranya, dia bisa beli putusan pengadilan untuk rebut hak pengasuhan anak dariku. Dan dia pindahkan putriku bersekolah ke Singapura. Sudah dua bulan aku tidak ketemu putriku, Ning!” Tangis Arin meledak di dada hangat Wening. Gaun tidur Wening basah dengan airmata. “Padahal setelah bercerai aku sampai jual diri untuk membiayai sekolahnya. Setahun kemudian lelaki itu datang dan merebut segalanya!”

Yo wis, sing sabar wae,” bisik Wening lembut sambil terus membelai.

“Dia gunakan putriku agar aku mau rujuk dengannya. Aku tahu dia sudah tidak cinta aku. Sejak dia selingkuh, aku sudah tahu itu. Apalagi sekarang. Dia pasti jijik padaku.Tapi Nia tak mungkin dimilikinya tanpa memaksaku kembali. Nia sangat dekat denganku,”Arin terus bertutur. “Ning, aku harus bagaimana?”

“Kamu sendiri masih mencintai mantan suamimu?”

Arin menatap tajam. “Kok masih tanya begitu?”

Just confirm, Babe.”

No, I just love you. He’s nothing!” tegas Arin. “Bila ada pelanggan-pelangganku yang lain, mereka hanya senilai rupiah dan dolar mereka. Tapi kamu bagian dari hatiku. Kamu hadir saat aku runtuh setelah perceraian. You’re my best customer. Even more!”

Sesama bunga itu saling menghisap apa yang jadi haknya kumbang jantan.

Dalam deru nafsu malam yang bermandikan peluh, Wening berbisik di telinga Arin,”Tapi aku cemburu sama babu cucimu. Kenapa kamu masih piara dia? Jaman sekarang buruh cuci sudah harus dimuseumkan! C’est la vie!”

Come on. Aku kasihan sama dia. Dia ditinggal kabur suaminya yang selingkuh dengan perempuan lain. Sama seperti aku. Kita kan harus solider sebagai sesama perempuan,” Arin mengedip manja. “Lagian lumayan kan sebagai cadangan kalo aku kangen kamu dan tidak bisa ketemu. Haha…”

‘Iya, ya.Siapa tahu kita bisa threesome! Hihi…”

Mereka terkikik mesum.

Malam berlalu dengan sejuta kutukan Tuhan.

***

Pagi bening.

“Mpok Nasipe, maaf. Kemarin saya lagi banyak pikiran jadi agak kasar. Kemarin mau omong apa ya?” tanya Arin lembut.

“Saya…”

“O, ya tunggu dulu,” tukas Arin cepat. “Ini upah nyuci Mpok saya bayar duluan. Saya tambah tiga kali lipat. Dan ini titipan dari sahabat saya, Wening.”

“Makasih, Bu. Alhamdulillah.” Mpok Nasipe berucap syukur. “Ini duit dari temen Bu Arin? Baek banget!”

“Iya, semalam dia antar saya pulang. Tumben sih. Baru pertamakalinya.”

Mendadak wajah Mpok Nasipe pucat. Ya Allah! Terime nggak ye? Halal nggak ye?

“Kenapa, Mpok? Sakit?”

“Nggak. Hmm…semalem waktu Bu Arin pulang, saya pas lewat di depan gerbang. Abis usaha pinjem duit dari Uda Iko.”

Arin terkesiap. Ia ingat sesuatu. “Oh, eh, semalam Mpok Nasipe lewat depan gerbang?” Ia mendadak gugup. “Kenapa tidak pinjam ke saya? Butuh berapa?” Ia sibuk mengeluarkan dompetnya dari tas Prada.

“Makasih, Bu. Udah dapet kok. Biar dikit asal ati tentrem.”

Wajah Arin memanas. Ia raba bibirnya yang semalam diciumi Wening di depan gerbang. Ia tiba-tiba merasa jijik dengan dirinya sendiri.***

salamrahman@pekerjakata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun