Surakarta, lebih dikenal dengan nama Solo. Mahsyur akibat karya batiknya ataupun lagu Bengawan Solo yang melegenda. Ini sedikit cerita dari seorang pendatang yang merasa Solo adalah kota yang kini bisa ia sebut rumah.
Sejarah Singkat Surakarta
Surakarta merupakan wilayah yang didirikan pada tahun 1745 setelah Sultan Pakubuwana II memindahkan wilayah kerajaan dari Kartasura. Wilayah yang ditunjuk tersebut adalah Desa Sala yang terletak di pinggir sungai Solo. Seperti dilansir dari laman DPRD Surakarta, nama Sura dalam bahasa Jawa berarti keberanian dan karta berarti penuh/ sempurna. Selain itu, nama Surakarta bisa juga adalah permainan kata dari Kartasura.
Perpecahan wilayah Kerajaan Mataram menjadikan Solo sebagai kota yang memiliki dua administrasi yaitu Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Situasi ini terus berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia menjadikan wilayah Surakarta setingkat provinsi yaitu Daerah Istimewa Surakarta. Setelah sepuluh bulan berada di bawah wilayah RI, pada 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan Daerah Istimewa Surakarta akibat adanya gerakan antimonarki yang rusuh hingga pembunuhan para pejabat DIS. Lalu Keraton diubah sebagai pusat pengembangan seni dan budaya Jawa. Solo sendiri ditetapkan sebagai tempat kedudukan dan residen yang membawahi Karisidenan Surakarta yang terdiri dari daerah-daerah Kota Praja Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukowati (sekarang bernama Kabupaten Sragen), Kabupaten Wonogiri Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali.Â
Solo, The Spirit of Java
Kata-kata diatas mungkin sudah tidak asing lagi apalagi bagi yang sudah pernah berkunjung ke Surakarta, sebab itulah slogan pariwisata Kota Solo. Jiwanya Jawa, untuk membentuk citra Kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Disamping itu, julukan yang melekat pada Kota Solo lainnya adalah Kota Budaya, Kota Batik, Kota Bengawan, juga Kota Liwet.
Bentuk sederhana dari budaya Jawa yang ditampilkan Solo adalah pada sarana transportasi umumnya. Di dalam kota, ada bus Trans Solo yang hadir dengan gambar tokoh pewayangan mulai dari punokawan, janaka, srikandi, hingga gatot kaca. Bentuk pelestarian budaya yang menarik, bahkan pendatang yang sering melihat bisa hafal masing-masing tokohnya.Â
Transportasi unik yang juga hanya ada di Solo adalah kereta uap wisata yang melewati jalanan kota, Sepur Kluthuk Jaladara. Jalur kereta ini bersisian dengan Jalan Slamet Riyadi, dengan rute perjalanan sepanjang enam kilometer melewati Loji Gandrung, Museum Radya Pustaka, Taman Sriwedari, Museum Batik, Kampung Batik, Gladak, dan berakhir di Stasiun Solo Kota. Lokomotif kereta ini sendiri dibuat pada tahun 1896 oleh Belanda dengan bahan bakar kayu. Menarik sekali untuk bisa menikmati Kota Solo sambil bernostalgia dengan lokomotif zaman dulu. Saat ini, penggunaan kereta uap hanya untuk disewa, namun sesekali akan ada open trip untuk masyarakat umum seperti pada liburan akhir tahun lalu.Â
Sebagai Kota Batik, Solo tidak hanya sebagai pusat belanja kain batik namun pelestarian kegiatan membatik itu sendiri. Adanya kampung batik dan rumah batik seperti di Laweyan dan Kauman, menjadi daya tarik budaya yang bisa kita dapati saat berkunjung ke Solo. Untuk perjalanan sejarah, ada cukup banyak bangunan peninggalan serta bangunan yang dialihfungsikan salah satunya menjadi museum. Museum tertua di Indonesia malah ada di sini yakni Museum Radya Pustaka. Selain itu, juga ada wilayah keraton yang bisa kita kunjungi. Bahkan ada perhelatan kebudayaan yang rutin diadakan, seperti Kirab Pusaka 1 Suro, Grebeg Mulud, Syawalan, hingga Solo Batik Carnival.Â
Tidak lengkap bicara Spirit of Java tanpa menyinggung kuliner yang ditawarkan. Cita rasa yang ditawarkan mayoritas adalah manis gurih. Makanannya mulai dari makanan berat hingga kudapan. Seperti nasi liwet sesuai julukan kotanya, nasi timlo, pecel ndeso, selat Solo, tengkelng, hingga serabi. Bukan hanya makanan, kuliner khas Solo juga hadir dengan minuman khas seperti wedang asle, wedang dawet pleret, dan aneka jamu.
Wong Solo
Wong Solo adalah istilah bagi orang yang tinggal di Kota Solo, atau sekarang meluas juga ke kota satelit sekitarnya. Tutur kata mereka terkenal dengan tutur kata yang lembut dan halus. Bahkan dialek Solo dijadikan rujukan bahasa Jawa. Di sini, bersapaan dengan orang asing bukanlah hal yang ganjil. Meski tidak kenal, namun lewat dengan sapaan "monggo.." atau sekedar menganggukkan kepala adalah hal yang sering dijumpai di Solo. Hal yang menghangatkan ditengah cepatnya pergerakan manusia saat ini, masih ada orang asing yang menyempatkan diri untuk berbagi senyum dan sedikit bercengkerama. Mengingatkan bahwa kita semua ini manusia bukan robot pekerja.Â
Bukan hanya etnis jawa, ternyata di Solo juga ada penduduk etnis Tionghoa dan Arab yang ramai  menenempati wilayah perkampungan tertentu. Tidak mengherankan jika Solo didaulat sebagai kota dengan tingkat toleransi yang tinggi berdasarkan Indeks Kota Toleran. Satu hal yang perlu kita ingat jika membahas penduduk suatu wilayah adalah bahwa penduduk adalah sekumpulan manusia yang tidak semua bisa sama persis. Dari kecenderungan wong Solo yang bertutur kata lembut dan ramah menyapa, pasti ada yang tidak demikian.