"Pak, Mak. Kuganggu sebentar, ya. Aku pamit, takut terlambat."
Ditengah pertengkaran kedua orang tuanya, Sarma menengahi dengan kalimat diatas. Ini adegan pertama yang cukup membuatku 'tersedak', apalagi dengan kalimat lanjutan orang tuanya.
"Pantas Sarma diam saja. Rupanya sudah biasa dia lihat kita ribut."
Mulai dari adegan itulah kira-kira, film Ngeri-Ngeri Sedap ini akan membuka konflik keluarga yang umum terjadi dan bisa relate dengan banyak orang, khususnya dengan adat dan kebiasaan orang Indonesia. Film ini sendiri bercerita tentang keluarga dari Suku Batak yang terdiri dari Bapak, Mamak, dan keempat anak mereka yaitu Domu, Sarma, Gabe, dan Sahat.
 Latar belakang ceritanya di Sumatera Utara cukup banyak menyuguhkan kecantikan alam yang aku sendiri juga gak tau kalau Sumatera Utara seindah itu. Menginvestasikan waktu sekitar 112 menit untuk menontonnya, kita akan merasa bercermin pada adegan-adegan dan jalan ceritanya meskipun kita bukan Suku Batak.Â
Kebiasaan sebagai orang Indonesia, cara kita hidup, bermasyarakat, memandang sesuatu, dan menyimpulkan yang terjadi, diceritakan dengan apik pada film ini. Terutama tentang keluarga, hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak, juga hubungan sesama saudara.Â
Sebagai orang tua, ini beberapa  hal yang aku sadari setelah menonton film "Ngeri-Ngeri Sedap"
1. Bapak gak melulu harus bicara melalui Ibu
Ini relate sih, karena banyak keluarga dimana orang tua yang berbicara itu diwakilkan sama ibu aja. padahal bapak juga bisa kan langsung bicara sama anak dan itu gapapa loh. Gak harus menyampaikan apa-apa itu melulu melalui ibu. Penasaran juga, sebenernya citra apa sih yang berusaha diciptakan bapak yang mau ngomong ke anak aja harus melalui ibu?
2. Bapak gak selalu benar dan perlu diikuti