Aku tidak menulis ini untuk mengungkit kesedihan, juga tidak untuk merangkum data untuk ditampilkan, mengukur perubahan setelah tiga belas tahun berselang. Ini hanya bentuk upaya menggali ingatan dan berbagi pengalaman, setelah belasan tahun memendam cerita agar bisa berdamai dengan ingatan, mengingat tanpa merasa terluka.
Saat itu, aku masih bersekolah di jenjang SMA, berangkat pagi pulang sore, satu hal yang istimewa adalah hari itu aku berulang tahun. Tidak ada rencana perayaan apapun, paling hanya makan malam dengan keluarga nanti sehabis magrib atau isya. Selayaknya anak SMA pada umumnya, ada saja ulah teman pada hari ulang tahun itu kan. Begitu juga dengan teman-temanku. Sore pada jam pelajaran kami yang akhirnya selesai, mereka sudah patungan membelikanku kue ulang tahun lengkap dengan krim yang melapisi di sekelilingnya untuk perayaan kecil-kecilan. Momen kegembiraan dari siram-siraman atau colek krim kue ke mana-mana atau berlarian menghindar tapi tetap kena juga. Bersama-sama kami menikmatinya, kecuali salah seorang teman yang mohon izin untuk tidak bergabung karena harus pergi kursus ke tempat lain. Ia pamit pergi, pergi yang beberapa jam setelahnya kami ketahui tidak lagi kembali. Â Â
Selain kue, teman-temanku ini juga sudah menyiapkan beberapa butir telur untuk dilemparkan, ntah darimana tradisi ini bermula, yang jelas aku menolaknya, meskipun jelas penolakan itu tidak akan ada gunanya. Tidak tau apa sebabnya, tidak tau apa yang menghentikan, namun telur-telur itu masih utuh hingga aku pulang.
Sesampainya di rumah, aku membersihkan diri dari krim-krim kue yang lengket di wajah. Aku melakukannya dengan gembira, tidak mempermasalahkan karena lebih baik begini daripada telur tadi, tentu aku tidak bisa sekedar mandi bebersih biasa. Harus ekstra tenaga dan butuh waktu panjang hingga bersih dan hilang baunya. Kemudian, aku mengambil segelas air putih, membawanya ke arah luar, dan meminumnya saat sampai di kursi tamu. Aku sengaja duduk di situ agar bisa sekalian menikmati udara sore dan berkumpul bersama beberapa orang yang keluar rumah sekedar untuk bercengkrama pada tetangga, jalan-jalan sedikit, atau bersantai sejenak sepulang aktifitas sebelum magrib memanggil.
Saat itulah..
Sesuatu bergetar dari dalam tanah, sangat kuat hingga yang terlintas hanya lari keluar rumah. Semua berguncang. Ntah mana yang dominan, guncangan itu, suara teriakan orang-orang panik, pekikan lantunan doa memohon perlindungan, tangisan ketakutan, atau barang-barang yang mulai berjatuhan, semua bersatu terasa begitu memekakkan.
Dari seberang jalan, aku melihat rumah yang telah menaungi kami puluhan tahun itu bergetar, bagaimana mungkin rumah dengan batu yang begitu kokoh bisa bergerak seperti itu?
Hening.
Perlahan kami memberanikan diri kembali ke rumah, melihat kondisi di dalamnya meski sepintas dari teras atau ruang tamu. Tidak berani masuk ke dalam, apalagi menengok ke belakang. Beberapa dari kami sepertinya memutuskan menyalakan mesin kendaraan untuk menjauh dari area pesisir pantai, teringat kejadian tsunami yang menggulung Aceh lima tahun sebelumnya. Iya, rumah kami ini tidak sampai satu kilometer dari pantai, zona merah. Sebenarnya, gempa bukan hal yang asing bagi kami, namun sejak ombak besar yang disebut orang-orang itu tsunami, ketakutan kami berkali lipat, kepanikan kami jauh meningkat. Kami bahkan pernah melarikan diri ke area yang jauh dari pantai setelah gempa, lalu tidur di lapangan sekitar rumah saudara.
Hari itu keluargaku memutuskan untuk tetap tinggal, berserah kata mereka. Mungkin sudah terbayang bagaimana paniknya orang-orang kini dan keributan apa yang mungkin harus kami hadapi jika bersikeras bergabung dalam kepanikan itu. Kami hanya berusaha, dan hari itu usaha kami hanya sampai di sini, sisanya biar Tuhan yang menyelamatkan. Kalimat yang mengingatkanku pada telur utuh di sekolah tadi. Langkah yang Tuhan gerakkan untuk menyelamatkanku terjebak di kamar mandi belakang.
Gelap melanda, listrik padam di seluruh sisi, sisa-sisa sinar mentari tadi sirna sudah. Dengan hati yang lebih tenang kami mencoba menata bagaimana ke depannya, mengambil makanan dan minuman yang kami miliki dengan berhati-hati ke area dapur, alat-alat penerangan, memindahkan alas duduk, tempat tidur, sebagian barang-barang yang rasanya diperlukan untuk kondisi darurat ini. Kami tidak mungkin kembali ke dalam rumah, kami akan bermalam di teras dan ruang tamu dengan pintu terbuka. Sepertinya semua orang begitu. Bolak balik ke dalam rumah untuk sekedar mengambil keperluan sembari memeriksa kerusakan apa yang ditimbulkan dari guncangan hitungan menit itu.