Dianggapkah aku insan..
Mengapa bumi bergetar dan ingin runtuh didekatku..
Haramkah aku menginjaknya..
Apakah begitu jijiknya muka ini buat sang mentari..
Sehingga sinarnya redup kala aku ingin tertawa..
Ha..ha..ha..ha..haaaa
Di mana Sang Pelindungku..
Ia tak hadir..
Di mana engkau berada..
Engkau tak hadir..
Di mana hati nuranimu ayah..
Ayah yang aku kenal tak hadir..
Kenapa iblis memilihmu untuk tertawa..
Kenapa iblis memilihku untuk menangis..
Kenapa ayah..kenapa..
Bukankah engkau malaikat pertama yang aku kenal..
Bukankah engkauh marah ketika aku berdarah..
Lantas kenapa KAMU membuatku berdarah dan membenci malaikat pertamaku..
Masih teringat dengan rinci mainan pertama yang engkau beri..
Masih terngiang dengan indah lagu tidur yang engkau nyanyikan dan lelap dengan cepat menghampiri..
Sampai datangnya pintu yang dikunci..
Sampai datangnya tempat tidur yang menangis dalam gelap..
Pengap..Perih..dan sakit..
Tolong aku ayah..
Ada iblis yang menyerupai wajahmu..
Tolong aku ayah..
Ada iblis yang ingin menghancurkan anak kesayanganmu..
Tolong aku ayah..
Aku tak kuat mencium alkohol yang menusuk hidungku..
Ayah aku membencimu..
Ayah aku menyayangimu..
Ayah ada iblis di dekatmu..
Ayah iblis tertawa melihatmu..
Ayah aku menangis karenamu..
"Puisi di atas terinspirasi dari cerita seorang anak perempuan berusia 17 tahun. Ia dirudapaksa oleh ayahnya yang sedang mabuk sempoyongan dan gelap mata. Karena ayahnya mengetahui bahwa anaknya bukan darah dagingnya setelah 17 tahun berlalu, dan istrinya telah berselingkuh lagi dan mengambil semua harta beserta surat-surat berharga yang Ia punya".
Karya : Handikaweh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H