BANTUL, SALAMGOWES.COM – Liburan lebaran kali ini, saya manfaatkan bersepeda menuju daerah Wonokromo, Pleret, Bantul. Tujuan silaturahmi ini untuk memenuhi sifat anak kecil yang berada di dalam diri saya, yaitu bermain memenuhi rasa ingin tahu tentang sejarah Masjid Pathok Negara At-Taqwa.
Sebagai salah satu Masjid Pathok Negara, Masjid At-Taqwa tentu saja memiliki sejarah panjang yang tidak akan cukup diulas di www.salamgowes.com. Berdirinya Masjid Pathok Negara At-Taqwa bermula dari keinginan Sri Sultan HB I membangun sebuah negara atau wilayah kerajaan yang didasarkan pada nilai-nilai keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. Untuk memenuhi ketiga hal tersebut Sri Sultan HB I melakukan kunjungan atau sowan kepada Kyai Muhammad Faqih meminta masukan untuk mewujudkan ketiga hal tersebut.
Hasil dari pertemuan tersebut, Kyai Muhammad Faqih memberikan usulan kepada Sri Sultan HB I menunjuk orang-orang berintegritas bagus dan mampu memberikan suri tauladan akhlak dan budi pekerti yang baik kepada masyarakat. Usulan tersebut berbentuk rekomendasi, yakni menunjuk orang-orang tersebut sebagai Pathok Negara (tiang negara) yang ditugaskan menjaga negara atau wilayah kraton dari berbagai penjuru yang kelak mengelilingi kraton.* Dalam tugasnya Pathok Negara diberikan sebidang tanah perdikan yang dibebaskan dari membayar pajak.
Kyai Muhammad Faqih resmi menjadi Kepala Pathok Negara pada tahun 1701, penunjukkan ini tidak terlepas dari luasnya ilmu dan rasa hormat Sri Sultan HB I kepada beliau. Kyai Muhammad Faqih dianugerahi berupa hutan yang tidak bertuan (alas awar-awar). Bersama-sama masyarakat sekitar, beliau membuka hutan ini dengan mendirikan sebuah masjid. Pemberian nama baru untuk tanah ini pun langsung dari Sri Sultan HB I, yakni Wa Anna Karoma (berarti memberikan kemuliaan bagi warga yang tinggal bermukim ditempat ini) walau pada prakteknya diucapkan atau dilafalkan menjadi Wonokromo.
Arsitektur bangunan Masjid Pathok Negara At-Taqwa Wonokromo tidak berbeda jauh dengan masjid yang dimiliki Kraton Yogyakarta pada umumnya, mengadopsi rancang bangun dari pendopo yang memiliki banyak pilar penyangga.
Bagian utama masjid dan serambi masjid memiliki kesamaan pada desain dengan menggunakan banyak pilar penyangga disertai ornamen-ornamen yang sama satu dengan lainnya. Perbedaan ruang utama dan serambi terletak pada ketinggian atap bangunan yang menunjukkan identitas sebagai mighrab dan serambi masjid.
Ciri yang khas yang lain dari Masjid Pathok Negara At-Taqwa Wonokromo, yakni bangunan masjid dikelilingi kolam air atau parit yang berisi air jernih. Pada jaman lampau halaman depan masjid yang luas ini difungsikan sebagai kolam penampung air dari Sungai Belik sebagai tempat berwudhu. Sekarang tempat berwudhu dirubah dengan menggunakan bak air yang besar dan beberapa kran air serta masih mempertahankan kolaman air yang mengelilingi masjid.
Halaman Masjid Pathok Negara At-Taqwa Wonokromo pada jaman dahulu difungsikan sebagai tempat digelarnya upacara adat Rebo Pungkasan (rabu terakhir) di bulan Sapar (Shafar). Konon, pemilihan hari Rabu terakhir tersebut didasarkan pada cerita pertemuan Sri Sultan HB I dengan Kyai Muhammad Faqih. Pada perkembangannya acara ini dipindahkan di lapangan Wonokromo agar tidak menganggu aktifitas peribadahan di masjid.