Pilkada Serentak 2018, banyak cerita dalam momen Pemilihan Pemimpin daerah di 2018 ini, dari mulai kampanye, debat pasangan calon hingga detik-detik pencoblosan yang waktunya berdekatan dengan hajat besar FIFA yaitu Piala Dunia. Dalam perhelatan pemilihan kepada daerah serentak 2018 yang dilaksanakan di 171 provinsi, Kabupaten dan kota terdapat 13 Daerah melaksanakan Pilkada serantak dengan satu pasangan calon alias lawan kotak kosong.
Pemilihan Kepala Daerah dengan satu pasangan calon telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pemilihan Kepada Daerah dengan satu pasang calon dilaksanakan dengan memenuhi kondisi diantaranya adalah setelah melalui penundaan masa pendaftaraan pasangan calon, hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar dan pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat, terdapat lebih dari satu pasangan calon, namun hanya satu pasangan calon yang memenuhi persyaratan dan setelah melaui masa penundanaan hingga penutupan pembukaan kembali pendaftaran, tidak ada yang melakukan pendaftaraan. Kondisi-kondisi tersebut merupakan beberapa kondisi yang memenuhi kondisi untuk dilaksanakannya pilkada dengan satu pasangan calon.
Fenomena calon tunggal di pilkada serentak tidak hanya terjadi di 2018, tetapi juga terjadi di Pilkada serentak sebelumnya, namun ada sesuatu yang unik dari Pilkada serentak 2018. Pilkada serentak di Kota Makassar yang diselenggarakan untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota dengan pasangan calon Appi-Cicu (Munafri Arifuddin -- Andi Rahmatika Dewi) kalah dengan kotak kosong. Pasangan ini hanya meraih sekitar 46% suara sementara kotak kosong didukung oleh sekitar 53% suara. Appi-Cicu disokong oleh 10 Partai Politik, yaitu Golkar, Nasdem, PDIP, PPP, PBB, Gerindra, PKS, Hanura, PAN dan PKB.
Menurut Iza Rumestsen RS, dosen di Universitas Sriwijaya, dalam artikelnya yang berjudul Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi, menyatakan bahwa fenomena calon tunggal terjadi akibat mahalnya mahar dari partai pengusung. Maka secara rasional, jika ada calon petahana yang kuat, calon lain pasti akan berkalkulasi rasional. Daripada hilang segalanya, lebih baik mengurungkan niat untuk jadi calon. Karena untuk menjadi calon saja mereka sudah harus membayar mahar.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa berkontestasi dalam pemilihan umum tidak hanya modal niat dan modal pintar saja, tetapi juga modal dana. Dana dibutuhkan dari kampanye, hingga dana untuk saksi yang nantinya diposisikan ditiap TPS, itu semua membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dibantu dengan Partai Politik pun masih saja harus bermodalkan dana yang tidak sedikit, apalagi Independen lebih banyak lagi yang harus dikorbankan.
Selain perihal mahar partai politik, menurut Iza, yang menyebabkan calon tunggal adalah mesin partai yang berfungsi untuk memberikan pendidikan politik bagi kader tidak berfungsi dengan baik. Karena partai selain wajib memberikan pendidikan politik kepada masyarakat juga wajib memberikan pendidikan politik kepada kader-kadernya, termasuk dalam hal ini adalah dengan menyiapkan kader terbaik untuk menjadi pemimpin di daerah masing-masing serta menyiapkan kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin di kancah nasional.
Partai politik sudah tidak menjadi organisasi kepentingan, yang mana maksud dari kepentingan tersebut adalah kepentingan bersama. Tetapi menjadi organisasi kepentingan kelompok orang tertentu maka sering kita melihat partai politik yang mempatronkan seseorang, hingga dapat menjadi ketua umum partai berkali-kali, atau sudah tidak menjadi ketua umum partai tetapi tetap mempengaruhi arah politik partai dengan menjabat jabatan partai yang jabatan tersebut "dibuat-buat" agar tetap dapat mengintervensi arah politik partai, hal seperti ini tidak sedikit kita lihat di dinamika partai politik di Indonesia.
Hasil Survei Poltracking Indonesia menunjukan bahwa 28 persen public tidak percaya terhadap partai politik sementara 48 persen percaya terhadap partai politik , sisanya tidak tahu/tidak menjawab. Ketidakpercayaan public terhadap Partai politik tertinggi dari instutsi lain. Dibandingkan dengan Presiden yang hanya 10 persen public yang tidak percaya, atau bahkan TNI yang hanya 5 persen public yang tidak percaya.
Pilkada kota Makassar seharusnya merupakan pemicu pembenahan organisasi Partai Politik untuk melakukan bersih-bersih internal Partai dan pembenahan kaderisasi, untuk menghilangkan segala praktek Oligarki Partai Politik. Apabila kondisi Partai Politik dibiarkan seperti ini, maka sungguh hanya tinggal menunggu waktu Rakyat menyatukan suara karena benih ketidakpercayaan terhadap Partai Politik yang tak demokratis sudah tersebar. Kalau Rakyat berkehendak, Partai Politik bisa apa ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H