Tak salah Abangda Ahyar Ros selalu pulang membawa bu ke rumah "penyeboan", kalau bahasa beliau, di pinggiran ibu kota. Buku-buku yang dibawa pulang , menjadi nutrisi otak yang penting bagi kami, yang kesehariannya berada di rumah. Sering saya ungkapkan, pengangguran yang sesekali berkeringan tipis-tipis.
Salah satu buku yang membahagiakan hati saya hari ini adalah buku "Memungut Remah-Remah Kehidupan" tulisan Jannus T.H. Siahaan, terbitan Obor, tahun 2015.Â
Awalnya, saya ingin melanjutkan pembacaan atas buku Prof. Komarudin Hidayat, "Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik" anehnya, sepertinya buku ini (Memungut Remah-Remah Kehidupan) seperti punya daya gravitasi, menyeret saya untuk masuk menjelajahi susunan kata-kata bermaknanya.
"Memungut Remah-Remah Makna", saya tertarik dengan dengan kata remah. Diksi ini kerapkali saya gunakan juga  dalam menulis. Dalam ungkan yang terkenal di zaman milenial ini, "apalah aku yang hanya remah-remah rengginang" ungkapan tawaduk dari Gen Milenial. Sering kali saya ungkapkan juga dengan rangkaian kata "apalah saya yang hanya remah-remah roti bikang". Hehehe.
Sampul buku berwarna merah, ada gambar roti dengan remahahnya, simbol Yin dan Yang, buku, topi wisuda atau toga, keran air degan butir setitik. Melihat sampul dengan segala simbol misterinya ini, pikiranku mulai melakukan aktifitas semiosis atas lambang-lambang itu. Untuk mengkonstruksi asumsi awal atas materi-materi yang ada dalam buku ini.
Hanya semiosis sederhana, Â saya mulai meraba makna keseimbangan dari simbol yin dan yang, krisis air dari gambar keran, pendidikan tinggi dari simbol toga, dan pengetahuan dari gambar buku.
Saya lalu mencoba lebih dekat dengan daftar isi dari buku ini, ternyata memang benar, asumsi awal yang saya berikan, ada pada daftar isi. Ada sekumpulan tema rema-rema bergizi.
Meski remahan, ia pernah menjadi satu kesatuan dari roti bergizi, dan masih menyimpan gizi, walaupun dalam porsi yang kecil. Paling minimal, ia tetap dianggap berkah, yang memuaskan syahwat makan semut-semut kecil.
Otakku tiba-tiba berkelindan, menyerupakan remah-remah ini dengan kerikil-kerikil penyusun gunung, meski hanya kerikil kecil, tapi ia bagian dari gunung-gunung batu.
Sebagai awalan, saya berhajat mencicipi seberapa sedap buku ini. mata saya tak berkedip dengan sebuah judul "manusia suci". Tatanan katanya saya lahap karena asyik untuk dibaca.
Judul manusia suci ini menyimpan cerita pengangkatan jaksa agung dari kalangan partai politik oleh Presiden Joko Widodo, di masa awal menjadi presiden dulu. Mungkin, untuk masa sekarang, banyak yang tahu bagaimana kejadian selanjutnya.