“Jika bukan Indonesia, lalu siapa? Amerika Serikat?!”
Begitulah pertanyaan yang selalu saya lontarkan ketika saya dapati berita terkait konflik Laut Cina Selatan yang semakin hari semakin memanas dan belum menemukan titik ujung perdamaian dari belah pihak.
Oh ya, sebelumnya, dengan hati terbuka, tidak maksud untuk menggurui. Izinkan saya untuk memberikan opini tentang peran strategis Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, sebuah konflik yang melibatkan beberapa negara kawasan ASEAN dan Asia Timur, meliputi negara Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Tiongkok, dan Taiwan saling bercekcok untuk mengklaim kepemilikan atas Laut Cina Selatan.
Laut yang memiliki letak strategis sebagai jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Asia dengan Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Serta menyimpan kekayaan alam yang sangat berlimpah dengan cadangan minyak, gas alam dan keanekaragaman hayati bawah laut membuat pihak yang bertikai semakin tergiur untuk tetap kukuh memperebutkan status kepemilikan berdasarkan kepentingan masing-masing negara.
Lantas, yang menjadi pertanyaan berikutnya ialah,
“Kapan konflik ini tertangani? Dan Siapa yang bisa menangani konflik ini?”
“Apakah Amerika Serikat?” Jawabannya Tidak!
Justru, apabila benar-benar menangani atau menjadi “mediator” dalam konflik ini, Amerika Serikat hanya akan mengakibatkan permasalahan-permasalahan yang berkepanjangan. Karena kita tahu, Amerika Serikat memiliki 1000 strategi lebih baik dengan Smart Power Tactic sebagai alat diplomatiknya dan memiliki tujuan tersembunyi pula pada strategi tersebut. Ada udang di balik batu.
Namun yang menjadi bahasan dalam artikel ini, bukanlah untuk membahas Amerika Serikat, melainkan Indonesia.
“Kenapa Indonesia?”
Oke, akan saya jabarkan.