Masih ingat rasanya, terperanjat dari tidur lalu bergegas pergi ke masjid setelah teriakan ibu menggelegar membangunkan kami di subuh hari. Sarungku sempat jatuh dari bahu saat kami tergesa berlari.Â
Masih terlihat rasanya, dikursi itu Ibu menambal tas sekolah saat aku sarapan, sementara Bapak merogoh saku baju untuk memberikan kepingan koin untuk bekal nanti di sekolah. Belum lagi kegaduhan pertengkaran adik dan kakak yang selalu terdengar setiap hari atau jerit tangis si bungsu yang tak bisa lepas dari godaan sang kakak. Suasana yang terus kami rindukan.Â
Rumah kokoh itu kini tak ada lagi, kayu-kayu mulai lapuk, cat dinding terkelupas berserakan di pojokan, endapan air hujan bersarang di plafon rumah seolah membentuk lukisan hewan atau tumbuhan di setiap ruangan. Rumah itu kini sepi, hanya tinggal mereka berdua merajut kisah asmara seperti saat mereka muda. Dari rumah ini, kami dibesarkan dengan semua budi pekerti yang dibekalkan Bapak kepada kami.Â
Dari rumah ini, kami diantarkan Ibu meninggalkan rumah dengan bekal cinta dan kasih sayang. Ibu, Bapak, sehat selalu. Bekal kalian selalu kami jadikan arah agar tak tersesat. kami pasti akan selalu pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H