Sejak pukul enam sore tadi, Security sekolah menyalakan lampu taman. Tak ada siswa disana, hanya ada Aku, Security dan sejuknya suasana malam. Lampu spot light menyinari setiap pohon sehingga cabang dan ranting kecil di dalamnya terlihat jelas dari kejauhan, jika melintas di bawahnya ada rasa takjub, keindahan ciptaan tuhan tetap mengagumkan walau dalam malam. Aku masuk ke sebuah ruangan kecil, ruang bekas toilet di sebuah gedung perpustakaan lantai satu yang kusulap menjadi tempat persembunyian, sekaligus ruang penyimpanan properti teater. Beruntung, aku bisa bermalam disana, tak perlu lagi tinggal di kosan untuk menghemat uang.
Sebagai siswa, mengerjakan tugas rumah adalah ritual setiap malam, beberapa kukerjakan di malam itu. Selesai tugas dikerjakan, suara langkah kaki samar mendekat di luar ruangan lalu berhenti. Dari arah pintu yang sengaja aku buka sedari tadi tampak gadis seumuranku berdiri di sana. Bahu kirinya bersandar pada dinding disampingnya. Lekuk tubuh sintal itu jelas terlihat dibawah lampu gedung yang tidak terlalu terang, kemeja flanel hijau ketat dan celana jeans sempit begitu cocok dipakainya. Senyum tipis dari paras orientalnya terlihat sangat manis. Ditambah lesung pipit menyempurnakan kecantikannya. Yanti..... Si cantik yang akhir-akhir ini dekat denganku. Saat tatapanku tertumbuk tepat di kedua matanya, kusadari mata sipit itu ternyata lebih dulu memperhatikan mata liarku cukup lama, memalukan.
Sambil menyodorkan kantung plastik putih yang dijinjingnya, Yanti mendekat masuk kedalam ruangan. Cepat-cepat kusingkirkan buku-buku berserakan di atas meja lalu kupersilahkan duduk pada kursi lipat yang baru kuambil dari balik pintu. Yanti membawakan beberapa potong gorengan panas dan dua botol air mineral kemasan. Kebetulan sekali, aku belum makan. Di tengah cairnya suasana, kami bersenda gurau sambil menghabiskan makanan bersama, menyenangkan.
Tidak perlu lama, selesai makan kami bangkit dan keluar dari ruangan, kusuruh Yanti berjalan duluan sementara aku berusaha menutup pintu kesusahan. Maklum saja, ruangan bekas toilet itu memang sudah rusak sebelumnya. Pelan-pelan kami berjalan menikmati indahnya taman, lembut dan hangat sekali genggaman Yanti, kurasakan saat Dia meraih tanganku agar tak berjalan terlalu cepat. Oooh... apa ini? Jantungku berdebar begitu kencang.Â
Lama berjalan mendadak kami berhenti, kompak menengok ke belakang mencari suara orang berlari yang terdengar kian mendekat. Oh, ternyata Khairul sahabatku, cowok keren nan terkenal di sekolah sebagai aktifis. OSIS, PKS, PRAMUKA, PMR, Teater, apalagi? semuanya habis Dia ikuti. Tergopoh Khairul menyapa kami dan larinya berhenti, sesekali dia lemparkan senyum untuk menutupi lelahnya. Sedikit basa-basi kami bertiga melanjutkan perjalanan. Sambil melangkah Khairul berbisik kepadaku. Geli rasanya, seorang laki-laki mendekatkan bibirnya ke telinga kiriku.Â
Dengan suara pelan Dia memintaku untuk jalan lebih dulu, ada yang perlu di sampaikan ke Yanti katanya. Hiiyy...Kujauhkan cepat telingaku dari bibirnya dan kutatap matanya dengan heran, kulihat Khairul mengangkat alisnya beberapa kali mengisyaratkan tanpa kata agar aku mengerti. Senyum Khairul terbuka lebar di antara bulu kumis tipisnya. Di samping kanan, tampak Yanti mendapati dua orang laki-laki saling menatap menggelikan.Â
Tanpa memberi penjelasan apapun kepada yanti, bergegas kupergi meninggalkan mereka berdua. Jauh dari teras masjid sekolah kulihat mereka berdua saling berhadapan. Senang rasanya sebagai sahabat aku bisa memahami Khairul. Apa yang berusaha dia sampaikan dalam pikirkannya rasanya sangat mudah untuk aku terjemahkan, ada chemistry terbangun begitu kuat, kurasa inilah buah dari persahabatan. Walau.... ada sedikit rasa cemburu menyelinap diam-diam di dalam hati.
Entah berapa lama kududuk di teras masjid, dari jauh kulihat mereka berpisah, Khairul berjalan ke arahku pelan, sementara yanti pergi menjauh, mungkin pulang. Nampak beberapa kali Khairul mengusap wajah dengan kedua tangannya lalu menyapu rambut belah tengahnya ke belakang. Sambil duduk disampingku kudengar tarikan nafasnya begitu panjang.Â
Pandangannya hampa kedepan, raut wajahnya berubah, lagi-lagi seolah aku mengerti apa yang terjadi. Kurasa bukan waktu yang tepat untuk menghiburnya, sengaja kujauhi dia agar tenang. Tiba-tiba suaranya menahan langkahku, "Yanti menyukaimu." katanya terdengar berat. Bingung adalah kata yang tepat menggambarkan betapa kikuknya malam itu, bungkam, tak banyak bicara. Kembali aku duduk didekatnya menemani Khairul yang tenggelam dalam kecewa. Jauh di dalam hati aku berbisik, bagiku sahabat adalah segalanya, setelah ini takkan ada lagi rasa kecewa dan sudah kuputuskan, Yanti... Aku melepasmu.
...
...
...