Menengok Sejarah Tari Jaranan, Tarian Tradisional yang masih lestari di era globalisasi
Tari jaranan merupakan tarian tradisional yang masih sering kita jumpai di tengah pesatnya perubahan global. Tari jaranan merupakan kesenian dengan asal yang beragam dan sejarah panjang. Salamun Kaulam dalam jurnal seni rupa yang berjudul Simbolisme dalam Kesenian Jaranan mengungkapkan bahwa tari jaranan adalah pertunjukan tarian yang dilakukan oleh beberapa orang penari mengendarai mainan kuda yang terbuat dari anyaman bambu (dalam bahasa jawa mainan kuda itu dinamai jaranan).Â
Soedarsono dalam bukunya Jawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia menyebutkan bahwa di Jawa tengah tarian jaranan sering disebut dengan tari kuda kepang. Tarian ini juga dikenal dengan nama jathilan. Sedangkan di Yogyakarta bagian barat tarian ini juga dikenal dengan incling. Di Jawa Timur yang dikenal sebagai daerah asal Tari Jaranan, tari tersebut banyak ditemui di daerah Tulungagung, Blitar, Nganjuk, Kediri dan sekitarnya.
Membahas sejarah tari jaranan sendiri, dilansir dari website resmi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sejauh ini belum ada data tertulis atau prasasti yang membahas  tari jaranan. Namun ada relief candi yang memperlihatkan seorang perempuan bertapa dan pasukan berkuda yang diduga adalah Dewi Kilisuci. Hal ini kemudian dihubungkan dengan cerita lisan yang selama ini beredar di masyarakat bahwa sejarah tari jaranan dimulai ketika Dewi Songgo Langit atau Dewi Kilisuci yang merupakan putri dari Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan memiliki keinginan untuk menajadi petapa dan tidak ingin menikah. Akan tetapi sang ayah menentang keinginan tersebut dan sangat ingin putri mahkotanya tersebut menikah dan memiliki keturunan.Â
Setelah bertapa dan meminta petunjuk Dewa akhirnya Dewi Songgo Langit bersedia untuk menikah, namun ia mengajukan syarat bahwa bagi siapa saja yang melamarnya harus membuat kesenian yang belum ada di tanah Jawa. Raja Airlangga kemudian membuat sayembera atas syarat yang diajukan putrinya tersebut. Sayembara tersebut disambut baik oleh orang-orang yang ingin menikahi Dewi Songgo Langit. Mereka datang dari berbagai daerah, salah satunya adalah Klono Sewandono dari Wangker yang kemudian menjadi pemenang sayembara tersebut. Pernikahan Dewi Songgo Langit dan Klono Sewandono diiringi oleh kuda-kuda (dalam bahasa jawa disebut jaran) disertai dengan alunan musik terompet dari bambu dan kenong dari besi. Untuk menghormati kejadian inilah kemudian masyarakat Kediri melestarikan dan mengembangkan Tari Jaranan.
Bambang Sugito melalui penelitian pada tesisnya yang berjudul Jaranan Tulungagung (Kajian tentang Perubahan dan Perkembangan Pertunjukan Kesenian Jaranan di Kabupaten Tulungagung) mengungkapkan bahwa pada mulanya Jaranan bukanlah sebuah tarian atau kesenian, mengingat pada saat itu belum ada istilah kesenian. Jaranan pada zaman dahulu merupakan bagian dari ritual menolak bala dan musibah, memohon kesuburan lahan pertanian, kesuksesan panen dan juga memohon keamanan dan ketentraman.Â
Masyarakat zaman dahulu percaya bahwa hal-hal tersebut dapat terjadi karena kekuatan roh nenek moyang. Oleh sebab itu dalam pertujukan tari jaranan terdapat sesi kesurupan. Budaya kesurupan tersebut diawali dengan melakukan pemanggilan terhadap roh melalui media seperti kemenyan, bunga tujuh rupa, dan lain-lain. Lahir dari sejarah yang panjang dengan beberapa versi, Tari Jaranan kini masih lestari dan semakin berkembang. Tidak hanya sebagai tari tradisional tetapi juga hadir sebagai karya tari yang sudah dikreasi dengan pendekatan modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H