Mohon tunggu...
Sakinatudh Dhuhuriyah
Sakinatudh Dhuhuriyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia pasti mati, tapi tulisan yang ditinggalkannya tidak akan pernah mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MOS ku vs MOS Masa Kini

5 Agustus 2015   10:14 Diperbarui: 5 Agustus 2015   10:20 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah kemarin melihat berita di televisi dan hari ini membaca berita di koran, tentang siswa SMP yang meninggal diduga karena kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS), saya jadi teringat masa lalu. Masa di mana saya baru pertama kali menginjakkan kaki di sebuah Pondok Pesantren di Madura sana. Ma'had Al-Ittihad Al-Islami nama ponpes itu.

Saat saya dinyatakan diterima di ponpes tersebut, beberapa minggu kemudian saya sudah harus menetap di sana. Semula saya pikir jika di pesantren itu tidak ada kegiatan semacam MOS itu. Tapi ternyata dugaan saya keliru. Ponpes itu juga menerapkan MOS, hanya saja kepanjangannya yang berbeda, Masa Orientasi Santri.

Pikiran saya pun ketika itu ikut berkecamuk. Bertanya-tanya akan seperti apa MOS di pesantren itu. Apakah akan ada hukuman-hukuman fisik dan konsekuensi tertentu jika kami, santri-santri baru ini, melanggar aturan yang ada dalam MOS tersebut. Tak dapat dipungkiri juga jika hati saya pun ikut ketar-ketir karena takut dan khawatir.

Tapi lagi-lagi dugaan saya keliru. MOS di pesantren itu justru sangat berkesan dan menyenangkan. Walaupun pada hari pertama, saat kami sedang mengikuti kegiatan MOS itu, kakak-kakak kelas kami terlihat sedikit 'sangar' dan 'galak'. Tapi seusai MOS, ketika kami sudah kembali ke asrama/kamar masing-masing, kakak-kakak kelas kami itu sudah kembali terlihat wujud aslinya. Alias ramah-ramah dan baik. Hehehe.

MOS yang kami jalani saat itu juga lebih banyak memberikan pengetahuan baru pada kami tentang dunia pesantren itu sendiri, juga mengenai ponpes Al-Ittihad Al-Islami itu sendiri yang berdiri tidak jauh dari pantai Camplong, Sampang, Madura. Selain itu, dalam kegiatan MOS itu kami juga dibekali dengan pemahaman mengenai bagaimana kondisi psikologis dan mental yang harus kami bangun ketika hidup dalam dunia pesantren.

Hal yang paling berkesan lagi pada kegiatan MOS itu adalah, kami juga diminta untuk menuliskan harapan-harapan apa yang akan kami capai ketika kami berada di pesantren dan setelah keluar dari tempat kami menimba ilmu agama itu. Semua santri baru kala itu, termasuk saya, menuliskan banyak hal tentang harapan yang ingin kami raih di sana. Setelah itu, kami pun menempelkan harapan-harapan kami pada sebuah pohon yang kami sebut sebagai Pohon Harapan. Dari sanalah kami kemudian mengerti, apa yang harus kami lakukan selama menimba ilmu di pesantren itu demi mewujudkan harapan-harapan dan impian kami.

Kegiatan MOS yang saya ikuti itu ternyata juga diselingi dengan permainan yang seru dan mengasah keterampilan serta kerjasama diantara kami. Permainan itu dilakukan di hari terakhir MOS. Berbagai keseruan dan keceriaan kami temui dalam permainan itu. Apalagi di hari terakhir itu, kami para santri baru sudah mulai saling akrab dan menjalin persahabatan. Ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran tentang MOS yang muncul pun mulai lenyap dari benak saya. Setelah saya mengikuti rangkaian kegiatan MOS di pesantren itu. Tidak ada hukuman-hukuman fisik atau kelancangan lainnya yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya, yang baru saja memasuki dunia baru itu.

Seperti itulah memang seharusnya MOS itu. Tidak seperti MOS di masa sekarang yang lebih banyak jadi ajang perploncoannya. Kalau kakak kelasnya sudah memberikan contoh MOS yang buruk, seperti dengan diterapkannya hukuman fisik kepada adik kelas barunya yang melanggar, adakah yang bisa menjamin jika hal itu tidak akan terjadi lagi di tahun-tahun berikutnya? Kecuali kalau memang ada sekelompok dari mereka-siswa baru itu, yang memiliki visi ke depan agar bisa memperbaiki kegiatan MOS yang buruk itu. Tapi untuk melakukan perubahan itu tentunya juga perlu keberanian dan dukungan.

Kegiatan Masa Orientasi Santri seperti di pesantren itu, nampaknya bisa juga dijadikan referensi bagi pihak sekolah serta para senior-senior di SMP maupun SMA untuk menyelenggarakan kegiatan MOS yang lebih bermutu dan bermanfaat bagi adik-adik kelasnya. Saya pun berharap, semoga pesantren MII, tempat dimana saya menimba ilmu agama saat SMP hingga SMA itu, tetap melakukan kegiatan MOS yang bermutu dan berkualitas, serta tidak terperangkap dan meniru kegiatan-kegiatan MOS lainnya yang tidak bermutu dan sangat memprihatinkan jika dilihat secara kasat mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun