Mohon tunggu...
Sakinatudh Dhuhuriyah
Sakinatudh Dhuhuriyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia pasti mati, tapi tulisan yang ditinggalkannya tidak akan pernah mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemudahan di Balik Penderitaan

23 Maret 2012   16:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:34 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udah, kamu itu pulang aja, sekolah di rumah aja, mamak ini udah nggak punya duit!” ungkap Pratifi mengingat dan menirukan nada bicara ibunya. Gadis berumur 18 tahun ini adalah salah seorang dari tiga orang mahasisiwa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang mendapatkan full beasiswa di Fakultas Kedokteran Jurusan Kedokteran Umum.

Kehidupan keluarga Pratifi mungkin tidak semujur kehidupannya dalam dunia pendidikan. Ibunya dulu adalah seorang pegawai pabrik di PT. Tekstil Bandung. Namun, saat ini ibunya hanya bekerja sebagai pedagang jajanan Sekolah-sekolah Dasar di wilayah Kulonprogo Yogyakarta.

Sedangkan ayahnya telah meninggal sejak ia masih kelas satu SD. “Pertama kali saya masuk SD pada hari senin tahun 1999, ayah saya mengalami kecelakaan, dan pada hari kamisnya ayah saya meninggal,” kenang Pratifi dengan mata berkaca-kaca.

Sejak saat itu kehidupan pun mereka jalani hanya berdua. Antara ibu dan anaknya. Suka duka, susah senang menjalani dan menghadapi kerasnya hidup, mereka rasakan bersama. Terlebih lagi ketika Pratifi masih tetap ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, namun terbentur dengan faktor ekonomi keluarga yang kurang mendukung.

Hal tersebut ia rasakan saat ia duduk dibangku kelas tiga SMP Mu’allimat Yogyakarta. Ia ingin melanjutkan pendidikannya di Mu’allimat sampai kelas tiga SMA. Namun karena Mu’allimat itu adalah sekolah swasta dan juga memiliki asrama sendiri, hingga biaya yang dibutuhkan pun juga cukup tinggi. Hal ini menjadikan Pratifi dan ibunya harus berpikir ulang.

Akan tetapi, karena kemantapan hati dan keyakinannya, Pratifi tetap tidak ingin meninggalkan Mu’allimat meski ibunya membujuknya untuk melanjutkan sekolah di rumahnya. Keinginan Pratifi ini ternyata terjawab dengan sempurna. Salah seorang kakak kelasnya yang merupakan keponakan dari pimpinan salah satu Panti Asuhan di Yogyakarta, menawarkan padanya untuk tinggal di panti tersebut.

Kamu mau nggak tinggal di panti? Nanti untuk biaya sekolah, buku-buku dan keperluan lainnya akan dibayarkan oleh pihak panti, tapi syaratnya kamu harus tinggal di panti,” ungkap Pratifi, mengingat kata-kata kakak kelasnya. Dan dengan segera pula Pratifi menerima tawaran kakak kelasnya. Di samping karena ia berpikir bahwa tinggal di asrama lebih baik daripada hidup di luar, ia menerima tawaran itu juga karena faktor ekonomi, hingga dengan begitu ia juga tidak akan membebani ibunya.

Keberuntungan yang didapatnya ternyata tidak berhenti sampai disini. Saat ada pihak UMY yang datang ke panti tempat dia tinggal, mereka menawarkan adanya beasiswa dari Kedokteran UMY pada para pelajar SMA jurusan IPA yang tinggal di panti asuhan Muhammadiyah.

Kesempatan ini tidak dibuang sia-sia oleh Pratifi. Ia mengerahkan seluruh tenaga, kemampuan dan do’a agar bisa menjadi orang yang mendapatkan beasiswa itu. Meski kadang rasa pesimis hadir dalam hatinya karena ada temannya yang tinggal di panti yang sama dengannya dan lebih pintar darinya ikut serta dalam seleksi penerima beasiswa itu. Akan tetapi Pratifi tetap berusaha.

Pada hari pengumuman penerima beasiswa, Pratifi mengira bahwa dia tidak akan berhasil. Namun, kenyataan berkata lain. Pratifi lulus dalam seleksi tersebut dan mendapatkan full beasiswa sampai ia KOAS dari Kedokteran UMY. Dan ia pun bisa tinggal di asrama UMY “University Resident” (UNIRES) dengan gratis.

Segala kemudahan dan keberuntungan yang didapat Pratifi ini tidak membuatnya menjadi seseorang yang bersikap berlebihan. Ia tetap menjadi seseorang yang bersahaja dengan tidak mengikuti gaya hidup teman-temannya yang kebanyakan glamour. Akan tetapi ia justru merasa bingung dengan segala yang telah menimpa dan diterimanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun