Membaca Kompas puluhan tahun lalu adalah mengingat sebuah nostalgia. Sebuah sikap takzim. Sebuah penghormatan tentang kesan, image dan entah istilah apa lagi yang menunjukkan sebuah prestise. Maka melihat Harian Kompas tergeletak di atas meja ruang tamu adalah sebuah citra. Tentang pemilik rumah yang memiliki selera tinggi membaca sebuah media.
Kesan berbeda akan muncul manakala bertamu ke seseorang. Di atas meja tergeletak ‘merek’ koran kuning. Asosiasi tentang selera tuan rumah menjadi gampang terbaca.
Begitu mudahnya, berangkat dari koran yang tergeletak di atas meja: Kompas. Bukan yang lain.
[caption id="" align="aligncenter" width="574" caption="Kompas (foto: barangtempodoeloe.com)"][/caption]
Maka membaca Kompas adalah sebuah kebanggaan. Tentang informasi yang amat sangat bermanfaat. Tentang nilai, pola pikir dan juga referensi.
Hingga kemudian datang era digital. Kompas cetak tetap bertambah tebal. Dulu hanya 12 halaman hitam putih, kemudian 16 halaman, berwarna,bertambah halaman dan tebal dengan berat mungkin hampir 1 kilo. Padat informasi. Â Belum cukup, merambah ke dunia online. Lahirlah Kompas.com. Berita seperti berkejaran. Datang tak berhenti. Sampai bingung sendiri memilih informasi. Karena serba cepat, ingin banyak diklik pembaca, maka informasi diolah semenarik mungkin, dengan judul-judul yang kadang bikin menggigil. Senyum sendiri.
Hari ini seharian berselancar di Kompas.com. Di sela-selanya mengingat puluhan tahun yang lalu. Sebuah koran terkemuka, prestise dan juga gengsi.
Tak apa. Hanya mengenang saja. Tentang kerinduan akan sebuah koran yang tergeletak di atas meja. Kompas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H