Mohon tunggu...
Ali Sakduddin
Ali Sakduddin Mohon Tunggu... Lainnya - Asisten Penghubung Komisi Yudisial Jawa Timur

Saat ini kerja di salah satu lembaga negara

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dua Alasan Menerima Keputusan MK

22 Agustus 2014   20:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:50 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti kita pahami bersama bahwa setelah melalui proses panjang sebelumnya, maka pada tanggal 22 Juli 2014 KPU menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pemilu Presiden atau Pilpres. Penetapan KPU di dasarkan pada hasil rekapitulasi suara nasional dengan Perolehan suara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebanyak62.576.444 suara (46,85 persen) sedangkan perolehan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla 70.997.833 suara (53,15 persen).

Penetepan KPU tersebut, seperti kita ketahui bersama pula, memantik rasa tidak puas dari pasangan nomor urut satu. Pasangan nomor urut satu mengklaim bahwa penetapan KPU di penuhi dengan pelanggaran baik secara etik oleh penyelanggara pemilu maupun kecurangan secara terstruktur, sistematis danmassif. Atas dasar itu pula maka pasangan nomor urut satu, melaporkan pelaksanaan Pemilu Presiden kepada Mahkamah Konstitusi, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan lain sebagainya. Sehingga hal itu dengan serta merta membuat proses Pilpres belum bisa dinyatakan selesai sampai semua laporan-laporan tersebut selesai.

Dari semua laporan yang di layangkan oleh pasangan nomor urut satu, penulis dan mungkin khalayak umum berpendapat bahwa laporan ke Mahkamah Kosntitusilah yang paling menarik untuk di ikuti. Menjadi paling menarik, karena keputusan Mahkamah Konstitusi akan menentukan bagaimana nasib pemenang yang telah di tetapkan oleh KPU bahkan nasib pemilu presiden itu sendiri. Mahkamah Konstitusi bisa saja setelah mendengarkan saksi fakta maupun saksi ahli serta bukti-bukti yang di ajukan ke dalam persidangan memutuskan berbanding terbalik dengan penetapan KPU atau bahkan memerintahkan kepada penyelenggara pemilu tersebut agar Pilpres diulang. Oleh karena itu maka menjadi hal yang wajar apabila sidang Mahkamah Konstitusi dalam perkara aquo menjadi perhatian media maupun publik secara umum.

Kita tahu bahwa setelah menerima laporan gugatan kubu Prabowo-Hatta pada tanggal 25 Juli 2014 kemudian Mahkamah Konstitusi memulai sidang sengketa pemilu presiden 2014 pada tanggal 06 Agustus 2014. Pokok gugatan di tujukan kepadaKPU sebagai penyelenggara Pemilu, sedangkan kubu pasangan nomor urut dua menjadi pihak terkait. Dengan berdasarkan pada dalil-dali yang di ajukan,pasangan Prabowo-Hatta menganggap telah terjadi palanggaran pemilu secara terstruktur, sistematik dan massif sehingga mangakibatkannya kalah.

Selama proses persidangan semua pihak telah menghadirkan saksi juga bukti ke dalam persidangan untuk memperkuat dalilnya. Pakar-pakar hukum yang tidak di ragukan kapasitas keilmuannya seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra, mantan Hakim Konstitusi Prof. Haryono, Prof. Saldi Isra dan lain sebagainya dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan. Tentunya dengan harapan untuk memperkuat dalil gugatan. Selama persidangan berlangsung sidang Mahkamah Konstitusipun menjadi pembicaraan hangat karena menghadirkan banyak perspektif dan spekulasi tentang apa yang akan di putuskan oleh kesembilan hakim konstitusi.

Akhirnya pada tanggal 21 Agustus 2014 perspektif dan spekualasi itu terjawab. Hakim Konstitusi memutuskan untuk menolak gugatan Prabowo-Hatta keseluruhan. Putusan tersebut tentu semakin mengutkan penetapan KPU pada tanggal 22 Juli 2014 di atas bahwa Pemilu Presiden 09 Juli 2014dimenangkan oleh pasangan nomor urut dua, Jokowi-JK.

Tentunya semua pihak suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus mengakui dan mentaati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut baik secara politik maupun hukum. Terlepas dari klaim tidak adanya keadilan subtanstif dalam putusan perkara aquo oleh kubu Prabowo-Hatta, penulis berpendapat paling tidak ada dua hal krusial yang menjadi alasan. Pertama, untuk menjaga dan menghormati wibawa sistem Negara kita sebagai Negara hukum. Undang-undang Dasar Pasal 24C ayat (1) telah mengatur bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya tidak ada jalur konstitusional lain yang bisa ditempuh untuk melawan keputusan tersebut. Mentaati bunyi pasal tersebut dan diaplikasikan dengan mentaati keputusan Mahkamah Konstitusi dapat diartikan sebagai sikap menjaga dan menghormati sistem hukum. Dalam konteks ini semua pihak memiliki kewajiban inhern.

Kedua, dalam rangka menjalankan cita-cita Negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Kita tahu bahwa panas dingin kompetisi Pilpres telah cukup lama menguras konsentrasi elit bangsa ini. Tidak hanya terjadi selama masa kampanye sampai munculnya putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi kurang lebih sejak setahun sebelumnya. Semua partai dan elit pemimpin di sibukkan dengan manuver politik menyonsong event politik lima tahunan itu. Walapun tidak terlihat secara kasat mata akan tetapi panas-dingin itu terasa sangat gamblang di tampilkan di hadapan publik. Tentunya hal tersebut cukup menguras energi dan konsentrasi elit. Oleh karena itu mentaati putusan Mahkamah Konstitusi dan menghentikan manuver lain menjadi urgent untuk mengembalikan energi dan konsentrasi elit untuk kembali mengurus urusan kesejahteraan rakyat.

Akhirnya penulis berharap, perjalanan Negara kita tidak hanya di ramaikan denganhiruk-pikuk politik yang hanya memuaskan ambisi elit tanpa dampak terhadap kesejahteraan terhadap rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun