Pengertian Independensi atau kemerdekaan adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan kita adalah mandiri tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi tertentu.
Dasar hukum kemerdekaan hakim dijamin melalui UUD 1945 Pasal 24 Ayat 1 (Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan). Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara. Batasan dari kebebasan dan independensi hakim adalah hukum itu sendiri baik formil maupun materiil. Hakim adalah subordinasi dari hukum bukan contra legem (mengesampingkan peraturan yang ada)
Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan. Akuntabilitas dan transparansi sebagai penyeimbang independensi. Bentuk tanggung jawab dalam mekanisme akuntabilitas:
1.Social accountability” (pertanggungjawaban pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan
2.Adanya integritas dan sifat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian hukum dalam komunitas hukum.
3.Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas, adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan
Dengan demikian kebebasan Hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia dibatasi oleh rambu-rambu antara lain, Akuntabilitas, Integritas moral dan etika, Transparansi dan Pengawasan (kontrol)
Putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Yang dimaksudkan kebutuhan teoritis disini ialah bahwa menitikberatkan kepada fakta hukum beserta pertimbangannya maka putusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum bahkan tidak jarang dengan putusannya yang membentuk yurispundensi yang dapat menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum). Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah bahwa dengan putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapatditerimaoleh pihak-pihak yang bersengketa,maupun masyarakat pada umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum.
Hakim harus menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undang yang mencakup dua aspek hukum : pertama hakim harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, akan tetapi apabila hukum tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka keduanya barulah hakim mencari dan menemukansendirihukumitudarisumber-sumberhukumlainnya.
Dalam upaya penemuan dan penciptaan hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini UUD tahun 1945, UU. No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman .
Dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat ditemukan beberapa prinsip sebagai berikut :
- Putusan pengadilan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip ini diambil dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berisi lima dasar negara yang disebut Pancasila. Prinsip ini merupakan landasan filosofis setiap hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara.
- Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas atau prinsip ini terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 yang dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan pasal 29 UUD tahun 1945. Dalam prakteknya kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan kepala putusan (irah-irah) dalam setiap putusan Pengadilan, jika tidak maka putusan tersebut tidak mempunyai daya eksekutorial.
- Prinsip Kemandirian Hakim.Prinsip ini tertuang dalam pasal 24 ayat (1) UUD tahun 1945 jo. Pasal 1 dan UU. No. 48tahun 2009. Dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 1 UU No. 48 tahun2009 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dalam penjelasan terhadap pasal 1 tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan extra judisial kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam UUD tahun 1945, sedangkan pasal 3 UU No. 48 tahun 2009, menegaskan hakim harus bersikap mandiri.
4.Prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara.
Prinsip ini tertuang dalam pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
5.Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Prinsip tersebut di atas dimaksudkan agar putusan hakim dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H