Pasca moratorium rekrutmen CPNS resmi berakhir pada 31 Desember 2013, maka pada tahun 2014 ini hampir semua kementerian, badan dan lembaga Negara serta Pemerintah Daerah mulai kembali melakukan rekrutmen. Seperti kita ketahui, rekrutmen CPNS selalu memberikan harapan terhadap sekian ribu lulusan sarjana di negeri ini. Menjadi aparat Negara adalah salah-satu media berkarir yang diminati. Sehingga tidak heran apabila setiap kali ada rekrutmen CPNS, pelamarnya selalu membludak.
Media online jpnn.com merilis berita bahwa sampai selasa (26/8) jam 01.00 dini hari jumlah pelamar melalui portal panselnas.menpan.go.id telah mencapai 60.000 untuk empat instansi yakni Kementerian Keuangan, LKPP, BIG, dan Bakorkamla. Sedangkan situs resmi Kementerian PAN-RB menyebutkan bahwa pemerintah membuka lowongan CPNS sebanyak 65.000 untuk instansi pusat dan daerah. Kedua angka tersebut sangat menarik diamati. Angka 60.000 tersebut adalah pendaftar pada empat instansi pada tanggal tersebut, sedangkan 65.000 adalah keseluruhan formasi yang disediakan untuk seluruh instansi yang melakukan rekrutmen baik pusat ataupun daerah. Angka tersebut belum ditambah dengan pelamar instansi-instansi lainnya baik yang di pusat dan daerah yang jumlah semuanya kurang lebih mencapai 68 instansi pusat, 28 Pemerintah Propinsi dan 455 Pemenrintah Kabupaten/Kota.
Kecuali itu yang perlu kita ketahui bahwa pendaftaran rekrutmen CPNS akan berakhir pada tanggal 07 September 2014, seperti yang disampaikan Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kemen PAN-RB, Herman Suryatman, kepada media. Artinya jumlah pelamar CPNS akan terus bertambah melebihi 60.000. Sebagai ilustrasi ketatnya persaingan rekrutmen CPNS, pada tahun 2012 situs resmi Kominfo Jatim menyebutkan bahwa perbandingan pelamar dengan formasi CPNS yang ada di Jawa Timur adalah 1:100.
Uraian diatas cukup memberikan gambaran kepada kita betapa ketatnya persaingan untuk menjadi seoarang paratur Negara. Namun dari itu juga kita dapat menyimpulkan bahwa minat dan ekspektasi publik untuk menjadi aparat Negara juga sangat tinggi. Kita juga tentu tahu bahwa menjadi aparat Negara artinya menjadi pelayan publik serta akan menjadi bagian inti dari penyelesai sekian masalah bangsa ini. Oleh karena itu tentu kita juga sepakat bahwa yang menjadi aparat Negara haruslah pribadi-pribadi yang tulus, kompeten, professional.
Kalau kita melihat di sisi yang berbeda, Negeri ini sedang mengalami banyak masalah. Di antaranya angka kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan yang masih tinggi. Kepala BPS Suryamin mengatakan indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% pada Maret 2013, menjadi 1,89% pada Januari 2014. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,43% pada Maret 2013 menjadi 0,48% pada Januari 2014. Artinya menurut Suryamin tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia semakin parah.
Sedangkan terkait pengangguran BPS merilis angka pengangguran per Pebruari 2014. Tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 5,7% (7,15 juta jiwa).Angka tersebut turun dibandingkan Pebruari 2013 yang sebesar 5,82% (7,2 juta jiwa) maupun Agustus 2013 yang 6,17% (7,41 juta jiwa). Akan tetapi kalau kita lihat penurunan tersebut tidaklah signifikan dengan kata lain angka pengangguran di negeri ini masih sangat tinggi.
Terkait kebodohan Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP, Kemdikbud) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 90.263 ribu siswa SMA/SMK/MA siswa putus sekolah. Pada tahun yang sama, dari total lulusan SMP/MTs sebanyak 4,2 juta siswa, 1,2 juta siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/SMK/MA. Menteri pendidikan M. Nuh pada tahun 2007 di Banjarmasin mengakui bahwa 100 persen dari anak Sekolah Dasar yang melanjutkan sampai lulus adalah 80 persen sedangkan yang 20 persen putus sekolah. Angka-angka anak putus sekolah diatas tentu berkorelasi dengan kebodohan. Karena kebodohan tidak bisa hanya diartikan seseorang yang tidak bisa menulis dan membaca ataupun tidak pernah sekolah, akan tetapi bagaimana seseorang dapat menggunakan akal budinya dengan baik dalam menyelesaikan masalah hidupnya.
Kebodohan dalam kamus bahasa Indonesia adalah ketidaktahuan dengan kata lain tidak adanya pengetahuan. Tentu pendidikan dalam hal ini memiliki korelasi positif untuk membuat manusia yang tidak tahu menjadi tahu atau dengan kata lain mempunyai pengetahuan. Serta dengan pengetahuan itu pulalah akal budi seseorang dapat di gunakan dengan baik dalam urusan hidupnya. Pada titik ini kemudian kebodohan dapat menjadi pangkal dari dua masalah diatas, yakni kemiskinan dan pengangguran. Karena bodoh maka seseorang rentan hidup miskin dan menganggur.
Selain itu masih banyak masalah lain yang juga perlu dibenahi di negeri ini seperti supremasi hukum, korupsi, komflik sosial, ancaman disitegrasi bangsa, rendahnya partisipasi politik dan lain sebagainya. Tentunya semua masalah-masalah tersebut menjadi tanggung jawabnya semua anak bangsa khususnya yang telah memilih untuk menjadi aparat Negara. Mereka bertanggung jawab dan akan dituntut oleh publik untuk bisa membuat langkah-langkah penyelesaian.
Berangkat dari pemikiran diatas maka penulis berpandangan bahwa rekrutmen CPNS harus menjadi momentum rekayasa sosial. Dengan artian rekrutmen CPNS tidak hanya diartikan untuk mengisi formasi yang disediakan akan tetapi bagaimana mendapatkan orang-orang terbaik dan ideal dalam mengisi formasi tersebut dengan harapan kiprahnya dapat memberikan perubahan. Tentunya syarat utama mencapai hasil tersebut adalah dengan meniadakan praktek-praktek jual beli, kekerabatan, balas budi jasa politik dan sebagainya seperti yang menjadi desas-desus selama ini.
Kecuali itu, sebagai rekayasa sosial maka merekrut CPNS yang nantinya menjadi PNS sama dengan merekrut agen-agen perubahan di tengah-tengah masalah bangsa. Dia harus memiliki kualifikasi dan kompetensi yang ideal. Karena seorang agen perubahan akan bertarung di tengah-tengah kepentingan jahat demi menangnya kepentingan baik yakni kepentingan masyarakat. Dalam perspektif Gramscian, hal penting yang perlu dilakukan dalam menciptakan perubahan adalah menciptakan para intelektual dan menghubungkan mereka dengan gerakan-gerakan perlawanan. Intelektual-lah yang memandu, mengarahkan, serta mengonstruksi bangunan yang menjadi alternatif dari tatanan sistem yang ada saat ini. Intelektual tersebut adalah intelektual yang ideologis dan memiliki keberpihakan pada kekuatan massa yang berlawan terhadap eksploitasi kapitalisme.
Penulis meyakini di antara sekian ratus ribu pelamar nantinya pastilah banyak sosok-sosok intelektual yang dapat memandu, mengarahkan, serta mengkontruksi bangunan alternatif dari sistem yang ada dan berpihak pada kepentingan masyarakat yang dalam bahasa Gramscian di sebut “massa”, akan tetapi bisa jadi juga ada intelektual-intelektual yang memiliki potensi berpihak pada eksploitasi kapitalis yang menyengsarakan rakyat.Oleh karenanya rekrutmen CPNS memerlukan sistem yang memiliki kecanggihan untuk memfilter intelektual tipe pertama dalam perspektif Gramscian, agar bisa masuk. Untuk intelektual ini Antonio Gramsci biasa menyebutnya sebagai inteletual organik, intelektual yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan, memihak dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat. Mudah-mudahan sistem rekrutmen CPNS kita mampu melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H