Mohon tunggu...
Sakban Rosidi
Sakban Rosidi Mohon Tunggu... profesional -

Membina kelas Filsafat dan Metodologi Penelitian Pengembangan pada Program Pascasarjana; Psikologi Sosial, Sosiologi dan Antropologi pada Program Sarjana. Cukup lama mengajar filsafat, linguistik dan cultural studies di Program Studi Sastra Inggris.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bangsa Pengidap Mentalitas “Sok Baik”

7 Februari 2012   20:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:56 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bangsa Pengidap Mentalitas “Sok Baik”

Sakban Rosidi

Mencermati sejumlah pesan dan atau curahan perasaan para tersangka tindak pidana, termasuk yang belum lama ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan suap, semakin menguatkan kesimpulan sementara saya bahwa kebanyakan dari kita, bangsa Indonesia, cenderung merasa sangat mulia, dan bahkan sangat dekat dengan Tuhan. Kecenderungan demikian tak hanya ketika sebuah kasus menyangkut diri pribadi kita, melainkan juga ketika sebuah kasus bersangkut-paut dengan orang-orang dekat kita.

Kita bisa merunut mentalitas sok baik dari kejadian sehari-hari. Pertama, ketika orang-orang tersayang, misalnya anak-anak kita, berpamitan ke luar rumah, niscaya kita akan berpesan agar berhati-hati jangan sampai menjadi korban kejahatan atau kecelakaan. Hampir tidak ada orangtua yang berpesan agar anak-anak kita tidak menjadi pelaku kejahatan atau kesembronoan yang mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain.

Kedua, ketika orang-orang yang kita sayangi, terutama anak-anak kita sendiri, ternyata terlibat suatu kasus kenakalan dan atau kejahatan, maka reaksi serta-merta yang muncul adalah “ketidak-percayaan”. Ketika para guru menjelaskan kepada orangtua bahwa putra atau putrinya terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba misalnya, pasti kata yang muncul pertama adalah “nggak mungkin”, “itu fitnah keji”, dan sejenisnya. Hanya bila telah diberikan bukti-bukti tak terbantah, maka dengan tetap membela diri para orangtua akan mengatakan bila anaknya terkena pengaruh pergaulan.

Ketiga, ketika diri kita sendiri atau orang-orang yang kita sayangi ternyata benar-benar telah ditetapkan sebagai tersangka suatu perkara kejahatan, akan semakin tampak mentalitas sok baik, mulia, dan bahkan dekat dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan seperti “Tuhan tidak tidur”,  “Tuhan Maha Mengetahui”, atau “Tuhan Maha Adil” senantiasa mengemuka yang tentu saja setelah segala bentuk sumpah atas nama Tuhan dan penggunaan kata-kata semacam fitnah, dizalimi, dan dikorbankan digunakan.

Ada semacam usaha meyakinkan diri dan orang lain bahwa karena begitu mulianya kita, maka Tuhan pasti akan bersama kita. Bagi sesiapa pun yang menyimaknya, akan terdengar sebagai bentuk kepasrahan yang terpaksa atau malah sekedar usaha meyakinkan diri dan orang lain bahwa doa orang yang dizalimi pasti didengarkan dan dikabulkan oleh Tuhan.

Ada pelajaran sangat penting bagi kita atas semua kejadian yang menegaskan gejala bahwa bangsa ini sedang mengidap sindrom atau paling tidak mentalitas sok baik, sok mulia dan sok dekat dengan Tuhan. Boleh jadi kita telah cukup berhati-hati agar tidak menjadi korban, tetapi tidak cukup berhati-hati agar tak menjadi pelaku kejahatan dan kezaliman.

Juga ada pertanyaan menarik sebagai bahan perenungan kita bersama. Sebenarnya, kasus yang menimpa tragedi tugu tani, kasus yang menimpa para tersangka suap, manipulasi, dan korupsi di negara ini terjadi karena kurang berhati-hati agar tak menjadi korban atau malah kurang berhati-hati agar tak menjadi pelaku kejahatan?

Secara antropologik, tampaknya baik deretan mentalitas menurut Koentjaranigrat maupun dan ciri-ciri manusia Indonesia Mochtar Lubis masih harus ditambah dengan mentalitas atau sikap sembrono agar tak menjadi pelaku kejahatan.

Akhirnya, marilah kita bertanya. Kapankah bisa kita biasakan berpesan kepada orang-orang tercinta agar, misalnya, jangan mencopet, jangan mencuri, jangan menipu, jangan korupsi, jangan memperkosa, dan jangan memakai dan menjual narkoba?

Mengapa? Karena jauh lebih penting menasehatkan anak-anak dan orang-orang tercinta kita agar tak menjadi pelaku ketimbang menasehatkan agar tak menjadi korban kejahatan. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun